Furniture Pallet di Kota Bandung

Furniture Pallet di Kota Bandung
Zahra Shafiyah, Owner Sang Petani Pallet Furniture

Rabu, 28 Juni 2017

Konsumen Pertama Sang Petani Pallet Furniture

Pengalaman pertama bisnis.

Jadi ceritanya beberapa bulan yang lalu Z beli beberapa buah pallet utk bikin ranjang pribadi. Setelah jd, iseng Z iklanin ke OLX dan bukalapak. Sampe akhirnya ada seorang aa-aa yang pesen. Z kasih harga asal aja tanpa memikirkan biaya produksi. Z hargain 800 rb untuk ranjang ukuran no 2, udah termasuk pernis dan 4 buah laci di sisi kiri. Dalam pikiran Z, pernis paling cmn 50rb, laci paling 100rb, pallet paling 300rb. Setelah dikerjain, ternyata biaya produksinya lebih gede dari harga jualnya. Haha. Sekarang aku paham kenapa furniture itu mahal.

Sebetulnya udah lama Z pengen bikin sebuah toko furniture berbahan dasar pallet. Namanya Sang Petani Pallet Furniture. Jargonnya Palleting Your Home. Untuk sementara tukang kayunya baru satu, suami sendiri. Dibayar pake cinta.

Awalnya Z cari tau cara nabi Muhammad berwirausaha. Dari bukunya Moenawar Chalil Z baca, nabi biasa memberi tahu modal awal, nanti terserah si konsumen mau ngelebihin berapa. Tapi kayaknya Z belum bisa ngikutin cara ini. Takutnya pas Z bilang "ini modalnya sejuta", konsumen cuma nambahin seribu rupiah. Aku nggak sangguuup.

Z anggap pengalaman bisnis pertama ini sebagai pelajaran supaya ke depannya Z lebih memperhitungkn segala sesuatu dg matang. Bukan cuman harga pallet mentah, tapi juga ongkir beli pallet, perhitungan berapa kaleng pernis yang dibutuhkan, bumbu-bumbu macam engsel, paku, triplek, koas, baut, mur, dll. Tapi Z cukup puas sih ketika barang sampai dan si konsumen bilang "Bagus risbang na teh". Im glad.

Its ok, yang namanya bisnis pasti ada unting dan rugi. Semua jenis usaha tak terkecuali. Cuman ada satu bisnis yang nggak akan rugi, yaitu :

"Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang TIDAK AKAN MERUGI," (Faathir : 30)

Baiklah, sekian tausiyah dr Uje,
Ustadzah Jahra.



P.s : Kalo ada yang mau ranjang pallet kayak difoto ini, atau furniture serba pallet lainnya, jangan ragu untuk order di Sang Petani Pallet Furniture yaw.

WA : 0895610412647

Ini penampakan bed pallet setelah sampai di rumah konsumen

Merhatiin Surya masang engsel

Selfie duluuu

Abis dipernis

Ini pas pertama dibikin banget

Proses penggergajian

Rabu, 07 Juni 2017

Cara Membuat Ranjang Pallet

Pemirsa, begini cara membuat ranjang pallet yang baik dan benar :

1. Cari yang jual pallet. Di Bandung, kalian bisa cari di daerah Pasir Koja. Harga satu pallet beda2 tergantung jenis kayu. Bisa minta diikirim dg ongkir 220rb tergantung jarak. Tapi bawa mobil sendiri jg jatohnya keluar segitu kok dg biaya makan akomodasi dll. Cukup beli 3 pallet untuk satu kasur ukuran 3.


2. Siapkan ampelas, cat, tiner, koas, dan koran. Kita cat si pallet dg warna yang kita suka. Sebelum dicat, ampelas dulu ya supaya makin halus. Bawaannya juga sebetulnya udah halus sih.


3. Jemur pallet yang sudah dicat. Z sengaja ngecatnya beda2 warna jadi bagian senderan ranjangnya bisa diganti2 sesuai warna seprei.


4. Setelah kering, susun deh. Dua palet dibawah, dan satu pallet jd sandarannya.


5. Selesai. Gimana, lucu kannn?

Jumat, 05 Mei 2017

Toko Furniture Pallet di Kota Bandung

Entah awalnya gimana, tiba2 aja Z tertarik banget sama yang namanya pallet. Dari situ Z jadi banyak cari tau tentang pallet di internet. Z juga cari-cari furniture khusus pallet di kota Bandung. Tapi nggak nemu. Yang ketemu justru sumber pallet mentahnya di daerah pasir koja. Disana berjejer pedagang yang jual kayu pallet dalam jumlah banyak. Harga yang ditawarkam si pedagang itu 65 ribu per pallet ukuran 1x1,2m. Ongkir ke Cileunyi itu 200.

Z cuman butuh 4 pallet buat ranjang. Buat bed pallet. Nahhh, dari situ Z mulai searcing foto2 contoh furniture pallet yang bakal Z bikin. Tukangnya paling suami sendiri 😂. Tentang nama tokonya, rencananya mau 'Sang Petani Pallet Furniture'. Jargonnya 'Pallet-ing your furniture' atau 'Let us pallet-ing your home·'

Ini dia contoh sofa pallet dan bed pallet nya yang Z dapet dari internet. Siapa tau ada yang mau order ya buat wilayah Bandung. 
For order : 
WA 
+62 895-6104-12647















Senin, 31 Oktober 2016

Review Film PINK (2016)

Film terbarunya Amitabh Bachchan ini ngingetin Z sama sidang kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin yang bikin greget. Bedanya, sidang di film ini bukan tentang kasus pembunuhan dengan racun, tapi kasus yang lain.

Cerita dimulai dengan 4 orang laki-laki di dalam mobil yang kalap menuju rumah sakit karena salah seorang temannya, Rajvit Singh, terluka parah di bagian dahinya.

Di mobil yang lain, ada tiga orang perempuan yang sama-sama terlihat galau dan gelisah, yang nunjukkin seakan-akan mereka adalah penyebab luka yang ada di dahi Rajvit Singh.

Awalnya Z bingung, ini cerita tentang apa sih? Maksudnya gimana? Apa mereka ada hubungannya dengan luka itu? Itu luka kenapa? Awas we lamun ngagantung ceritana sampe akhir. Dan lain-lain.Cukup lama bikin penasaran, sampe akhirnya ketiga cewek itu dilaporkan ke polisi atas kasus percobaan pembunuhan.

Sebelumnya, si 3 cewek juga pernah melaporkan Rajvit Singh ke polisi atas kasus pelecehan seksual. Tapi polisi nggak ada yang ngegubris karena Rajvit Singh ini adalah keponakan orang yang berpengaruh di India, jadi mereka takut kenapa-kenapa kalau ada laporan tentang Rajvit.

Ketika ketiga cewek ini dilaporkan, mereka punya kesempatan membela diri. Tapi nggak ada pengacara yang mau bantu karena takut dengan pengaruhnya paman Rajvit. Sampe akhirnya seorang pengacara yang sudah pensiun dan sedang dalam masa pengobatan, Deepak Sehgal (diperankan oleh Amitabh Bachchan) mau menolong mereka.

Sidangnya ini lho yang bikin penasaran. Deg-degan, tegang, ada fitnah, ada fakta, ada hal-hal yang tak terduga, ada pengungkapan realitas, dll. Dan ujungnya gimana coba? Ya.. tonton aja sendiri ya :D

Btw yang masih Z nggak ngerti adalah, apa kaitannya isi cerita di film ini dengan JUDUL nya yang PINK? Hihi. I dunno lah ya yang penting filmnya seru.

Minggu, 26 April 2015

Pengalaman Mendaki ke Puncak Rakutak


Ada cerita yang sedikit mistis dari perjalanan Walk 4 Free ke Puncak Rakutak kali ini.

Sebelumnya harap diketahui, perjalanan yang seharusnya tidak memakan waktu terlalu lama ini terasa lebih panjang karena melibatkan berbagai kalangan. Ibu-ibu, bapak-bapak, lajang, gadis, hingga LSL (lelaki suka lelaki), sehingga kami sering berhenti untuk sekedar istirahat, merumpi, popotoan, atau menggoda pendaki lain.

Kami menemukan satu-satunya warung yang ada di ketinggian lebih dari 700 mdpl. Pemilik warung tersebut adalah pria sederhana dengan sandal jepit hampir putus. Dari hasil wawancara yang dilakukan Dina, diketahui bahwa meskipun penampilannya sederhana, omset dagangannya bisa mencapai 500ribu/hari. 

Warung tersebut buka 24 jam, menjual bala-bala, teh manis, dan kopi. Dan ia pulang ke rumah hanya 1x dalam seminggu. Penjual tersebut memberi tahu, di atas sudah tidak ada lahan untuk memasang tenda karena pada hari itu ada 100 lebih pendaki lain dari luar Bandung yang sedang mendaki. Akhirnya kami memutuskan memasang tenda di dekat tukang warung tersebut dan akan ke puncak keesokan harinya.

Ba’da maghrib, Kami berkumpul di warung sambil menghangatkan diri di sekitar perapian. Ditengah tawa kami, tiba-tiba muncul Kinoy membawa Teh Dian dalam kondisi menggigil dan wajahnya pucat pasi. Ia beristighfar terus menerus. Untuk sepersekian detik, kami malah tertegun. Sebelum maghrib tadi, Teh Dian izin pergi ke tenda karena merasa kelelahan. Ini adalah kali pertama ia naik ke gunung dengan trek seperti ini. 

Melihat Teh Dian ketakutan, kami segera merangkul dan mengelilinginya. Kami mengusapnya dan menanyakan pada Kinoy apa yang terjadi. Sebelum Kinoy menjawab, Teh Dian tiba-tiba berteriak pada Vika, “TEH VIKAAA!!! Itu di belakang!!!”. Vika kaget, lalu memeluk Zahra. Vika malah memakai kacamata hitam, entah untuk apa. Kami lalu menyuruh Teh Dian berbaring diatas tikar. Kami mengusapnya, lalu menyuruhnya membaca istighfar. Dengan kalimat terbata-bata, Teh Dian bercerita, ketika ia sedang meringkuk di dalam tenda, ia mendengar banyak orang masuk ke dalam tenda. Ia kira orang-orang itu adalah kami. Semakin lama, semakin banyak. Dan tiba-tiba ada suara berbisik, ingin memeluk Teh Dian.

Beberapa menit setelah menceritakan hal itu, Teh Dian berhenti membaca istighfar, lalu bola matanya terus melirik kearah kiri, ke hutan yang gelap dan tidak ada cahaya sedikitpun. Kami menghalangi pandangannya supaya ia tidak melihat kesana, tapi Teh Dian tidak mau. Zahra menutupi wajah Teh Dian dengan tubuhnya. Tapi Teh Dian tetap memandang ke hutan itu.

Muncul Giri dan Mas Doel yang baru tiba dari puncak. Mereka baru saja memeriksa kalau-kalau ada lahan kosong di atas untuk memasang tenda. Setelah tidak ada hasil, mereka kembali dan menemukan Teh Dian dalam kondisi demikian. Giri menyuruh kami memijit jempol kaki Teh Dian dengan kencang. Setelah kami pijit, Teh Dian tiba-tiba berteriak kencang “Aaaaaaaaaaa!!!”. Ia bangun dan terlihat linglung.
“Kenapa pada mijitin Dian?” tanyanya heran.

Kami baru menyadari bahwa yang terjadi tadi, adalah diluar kesadaran Teh Dian. Acong mengatakan, Teh Dian terlalu kecapean sehingga kondisi pikirannya ikut melemah, dan menjadi kosong. Setelah kejadian ini, Acong meminta kami lebih awas satu sama lain. Jangan memisahkan diri, dan hindari kekosongan pikiran. (Cerita ini telah mendapat izin publikasi dari Teh Dian)

Keesokan harinya kami mulai mendaki dan keadaan kembali mencair seperti biasa. 11 orang pendekar kali ini adalah :

Mas Doel yang tidak pernah pundungan meski dibully, dan Mas Doel orangnya sangat bersemangat. Bahkan dalam keadaan kram pun Mas Doel masih semangat selfie.
“Mas, engke deui popotoanna ai keur kram Mah atuh Mas,” kata Rosan.
Mas Doel juga sering memiliki ide buruk, “sigana ngagulutuk ka handap rame da,”. Kami langsung menyoraki Mas Doel dan menyuruhnya ngagulutuk sendirian.
Dina yang dijuluki alkaline karena sepanjang perjalanan tidak pernah semenit pun berhenti bicara seakan batrenya tidak pernah habis. Dina sering tiba-tiba berteriak “SIAPPP GRAK!!!” dengan kencang sehingga membuat kami reuwas.

Bu Dian dan Kinoy yang seperti Tom and Jerry. Mereka sering pa-pundung-pundung, marahan, tapi anehnya, tetap saja kemana-mana selalu bersama. Jika ingin mencari Teh Dian, carilah Kinoy. Maka pasti ada Teh Dian disana. Ketika Teh Dian jatuh ke kebun tomat, Kinoy siaga mendampinginya agar Teh Dian tidak jatuh lagi.

Giri yang naik ke puncak dua kali bersama Mas Doel ketika mengecek lahan kosong untuk pasang tenda, dan kembali tiga jam kemudian hanya untuk memberitahu di atas tidak ada lahan kosong. Giri tidak suka jika disuruh mengambil foto dengan sengaja, tetapi ketika orang lain tidak meminta, Giri akan mengambil foto dengan sendirinya.

Vika yang memasakkan cream soup untuk kami ketika di puncak. Quote favorit Vika : “Jangan lihat merk kopinya, tapi lihatlah dimana tempat meminumnya,”. Vika juga menyerahkan sebagian bebannya kepada Giri ketika merasa kelelahan di tengah perjalanan.

Bu Nenden yang bertemu dengan teman gowes nya yang sudah lama tidak bertemu di atas gunung. Kami menonton sebuah drama mengharukan dimana Bu Nenden dan temannya temu kangen dan berpelukan di tengah hutan. Pada pendakian pertamanya ini, Bu Nenden mengaku kapok.

Acong yang sudah pernah naik ke Rakutak itu adalah lelaki lajang yang sangat hebat karena bisa mendaki sambil tertidur (matanya sipit-red.). Acong juga berkali-kali terpeleset di perjalanan pulang. Kami lalu menyuruhnya segera menikah. Sama halnya seperti pada Acong, Rosan juga sering kami suruh cepat menikah.

Rosan dan Acong yang merupakan teman satu SMA itu selalu saling mengejek, padahal mereka sama-sama belum menikah. Selain karena belum menikah, mereka juga saling mengejek ciri khas fisik masing-masing. Rosan mengejek Acong “beunta atuh beunta!”, dan Acong mengejek Rosan “naon maneh hideung”. Tapi tidak ada rasa sakit hati diantara keduanya. (Btw, Rosan adalah mantan pengguna narkoba Ganja, yang mengalihkan ketergantungannya pada olahraga naik gunung)

Aum, adalah seorang LSL yang sangat terbuka. Kami mewawancarainya, apakah ia berminat berganti haluan menyukai wanita. Tapi Aum membela diri dengan mengatakan, “Suka sama laki-laki itu nggak dosa, yang dosa itu seksnya. Cowo suka sama cewek juga kan nggak dosa, yang dosa itu berbuat seksnya,”. Hihi. Pendakian ini adalah pendakian Aum yang pertama. Dan ia mengaku tidak kapok. Bahkan di pendakian selanjutnya, ia sudah mendaftarkan diri, berikut beberapa orang temannya yang juga ingin ikut mendaki.
Sampai saat ini kami tidak tahu kenapa orang ketagihan mendaki gunung, padahal yang dilihat sepanjang perjalanan hanya itu-itu saja. Pohon, ranting, tanah, pacet, atau paling sial, kotoran manusia. Tapi mungkin karena kesulitan yang dilalui, dan kepuasan yang dirasakan, kami jadi ingin dan ingin lagi mendaki. Dan setiap gunung punya ciri khas nya sendiri.



Pengalaman Mendaki ke Puncak Gunung Ciremai


Ciremai ini adalah gunung tertinggi di Jawa Barat. Ketinggiannya 3078 mdpl. Dan termasuk salah satu gunung dengan banyak cerita angker. Ini dia cerita lengkap perjalanan kami ke Puncak Ciremai



Selama 3 hari 2 malam, pendekar walk4free melakukan perjalanan di Gunung Ciremai. 5 orang pria (Giri, Rosan, Qinoy, Acong, dan Mang Adin), dan 5 orang wanita (Teh Dewi, Vika, Dina, Zakia, dan Zahra).

Mang Adin adalah penjaga kantor Yayasan Grapiks yang sudah setia selama 8 tahun bersama kami sekaligus peserta tertua di perjalanan kali ini. Teh Dewi adalah peserta tertua kedua, dan Zakia adalah peserta termuda.

Kami sering mengkhawatirkan Teh Dewi. Pada pendakian-pendakian sebelumnya, setiap kali kami memasuki trek yang mulai sulit, biasanya Teh Dewi akan berubah menjadi super pendiam dan tidak akan mengeluarkan sepatah kata pun, bahkan ketika kami bertanya sesuatu.

“Ayeuna mah Teh Dewi bisa seuri keneh. Tinggali engke beberapa jam ke depan. Pasti jamedud,” kata Qinoy.

Tapi ternyata selama hampir 24 jam perjalanan naik dan turun, Teh Dewi tidak melalui fase ‘always jamedud’ tersebut. Bahkan Teh Dewi menjawab ketika Dina bertanya, “Teh wios Dina nyanyi?”. Meskipun hanya menjawab 2 kata, “Wios Din,”, tapi itu merupakan suatu kemajuan besar.

Qinoy adalah orang yang paling sering menggoda Teh Dewi. Ketika kami naik kolbak menuju bumi perkemahan berod, di tanjakan yang curam A Qinoy berteriak, “Teh Dewi, ganjel Teh!” (maksudnya, Teh Dewi disuruh mengganjal ban mobil karena tubuh Teh Dewi yang cukup besar).

Di hari kedua, pukul 4 shubuh, Zahra dan Teh Dewi buang air kecil di tengah kegelapan malam. Giliran Teh Dewi, tiba-tiba terdengar bunyi kentut yang sangat kencang dan beruntun seakan ada benda selain angin yang keluar dari pantatnya.

Mendadak suasana ramai dengan gelak tawa dari dalam tenda.

“Euleuh, sieun longsor kadieu eta,” Qinoy menggoda Teh Dewi lagi. Dan kami tertawa. Ketika kami memperingati Qinoy, “Noy, tong ngaheureuyan Teh Dewi wae, bisi bogoh,”, Qinoy menjawab tak sopan, “Moal, Teh Dewi mah tos dianggap siga Nini abi,”. Hehe. Lancang sekali.

Meskipun tidak sopan, tapi Qinoy sangat baik hati. Ia mengangkut tas-tas kami ke atas elf ketika perjalanan pulang, ia bahkan mengumpulkan tissue-tissue basah yang kami gunakan untuk buang air kecil ke dalam satu kresek supaya sampahnya tidak berceceran.

Di perjalanan kali ini juga ada Dina yang membuat perjalanan kita semenit pun tidak pernah dihinggapi sepi. Dengan banyak bicara dan bernyanyi, ia mendapat energy lebih banyak. Zakia ikut menyanyi bersama bibinya itu. Dina juga sering membuat kami tertawa dengan sifatnya yang jail, yang senang menggoda acong dan mengatakan bahwa Acong telah mengalihkan dunianya. Dina juga sangat seterong. Dalam kondisi kaki yang terkilir, Dina masih bisa mengangkut carriernya dan berceloteh panjang lebar. Konon, ia merasa malu oleh The Dewi yang usianya jauh lebih tua darinya tapi bisa melewati semuanya. Ketika ada 6 orang pendaki remaja yang terjebak tengah malam di tenda kami karena hujan, Dina lah yang membuatkan mereka cream soup dan memanaskan air minum untuk mereka ketika kami semua sudah siap dalam posisi tidur.

Tapi Dina agak lemot juga. Dari awal keberangkatan, kami sudah berencana akan ngecamp di pos 3 untuk malam pertama.
“Mending pas engke di pos 3, urang ngecamp heula,” Dina sok memberi ide.
“Kan emang kitu rencanana kak,” kata Zahra.
Lalu Rosan berpura-pura lemot juga untuk menyindir Dina, “Ceuk urang mah mending di pos 3 we ngecamp na,”
“Ih ulah. Mending di pos 3 we,” Teh Dewi ikut-ikutan.
“Kumaha mun di pos 3 wae?” Tanya Vika ikut bodoh.
“Ah, udah di pos 3 aja lah,” Rosan lebih bodoh lagi.
“Tos atos. Urang Tanya pendapat A Giri. Ceuk A Giri mending kumaha?” Qinoy sok menengahi.
A Giri menjawab singkat, “karoslet kabeh,”
Lalu kami pun tertawa.

Perjalanan kali ini benar-benar membuat kami semua korslet. Bahkan Mang Adin pun ikut-ikutan.

Ketika istirahat di sebuah tempat, Dina menceritakan bahwa dulu gigi Teh Dewi ditempeli berlian. Entah benar atau tidak, karena Dina memang suka mengarang cerita semacam itu. Ketika berkenalan dengan pendaki lain, Dina mengatakan bahwa Teh Dewi punya pabrik roti dan tahu, padahal itu hanya karangannya saja. Tapi gossip tentang Teh Dewi pernah menggunakan gigi berlian membuat Zahra penasaran.

“Bener gitu Teh?” tanyanya.
“Bener,” jawab Teh Dewi.
Mang Adin tiba-tiba menjawab, “Ayeuna mah batu berlian na tos digentos ku batu akik,”
Kami semua tertawa, lalu menggoda Mang Adin. “Cieee Mang Adin ngelucu Cieee,”.

Bahkan Giri yang biasanya tidak banyak bicara pun kali ini bisa melucu. Malam sebelum kami tidur, Giri memanggil Vika sang istri.
“Teh?”
“Iya a?” jawab Vika.
“Jangan lupa pake buff,” Buff adalah kain semacam syal untuk menutupi wajah.
“Kenapa?” Tanya Vika.
Kami kira Giri akan menjawab, takut ada hewan kecil yang masuk ke hidung. Tapi ternyata,
“Ngorok teteh gede,”
Serentak kami tertawa terbahak-bahak, karena Giri jarang sekali berbicara selama perjalanan. Lagi, kami menggodai, “Cieee a Giri ngelucu cieee,”

Berkebalikan dengan Dina, Vika istri Giri sangat manja dan tergantung pada suami. Lebih dari seratus kali kami mendengar Vika mengeluh,
“Aa.. tolongin..”
“Aa atuh aa.. teteh Teh cape,”
“Aa.. teteh Teh gemuk jadi wajar atuh lambat,”
“Aa.. anterin pipis,”
“Aa.. a amah nggak ngerti ya sama teteh,”

Padahal anak sulungnya yang ikut pun tidak mengeluh seperti itu. Saking seringnya memanggil, “Aa..” kami sering menggodain. Terutama Rosan, Acong, dan Qinoy. Mereka sering menyindir, “Aa.. ombeh-in aku dong aa. Cebok-in aku aa,”. Vika hanya tertawa saja disindir seperti itu.

Walk4free pada dasarnya bertujuan untuk membebaskan diri dari hal-hal negative. Karena itu sebisa mungkin perjalanan ini diisi oleh obrolan-obrolan yang positif. Saat itu kami sedang membahas pentingnya kata ‘punteun’ atau ‘maaf’ ketika minta tolong pada seseorang. Dina langsung memanfaatkan momen ini.
“Osan, punteun lah geura beresan tenda,” katanya pada Rosan.
“De, punteun lah pangbereskeun tenda,” Rosan malah menyuruh Zahra.
“A Qinoy, punteun lah ceuk a Osan pangbereskeun tenda,” Zahra menyuruh Qinoy.
“Cong, itu punteun ceuk si Ade pangbereskeun tenda,” Qinoy meminta pada Acong.
“Din, sori pisan pangbereskeun tenda,”
Kami langsung tertawa. Kapan ada ujungnya

Banyak gossip percintaan yang terjadi selama perjalanan. Tentu saja bukan benar-benar kenyataan. Awalnya Teh Dewi digosipkan dengan Acong si brondong. Lalu Acong digosipkan dengan Zakia (yang merupakan anak sulung Vika dan Giri), Zahra, dan Dina. Dina yang mengungkapkan pada Acong bahwa Acong telah mengalihkan dunianya (tentu saja ini tidak betulan). Kaka digosipkan dengan Rosan, Acong, Qinoy, dan Mang Adin. Tapi yang paling hangat adalah gossip cinta segitiga antara Rosan, Qinoy, dan Acong. Diduga, alasan 3 pria lajang ini belum menikah adalah karena ada rasa terpendam antara ketiganya. Di gunung, orientasi seksual menjadi remang. Rosan mendadak gemulai, “aduuh, celana ekeu melorot booo,”. Qinoy mendadak ingin menggunakan lipstick Zahra supaya terlihat cantik di depan Acong dan katanya supaya lebih enak bermanja-manja dengan Acong. Giri menolong Qinoy dengan memegang tangannya saja langsung disoraki, “Cieee pegangan tangan cieee,”

Entahlah, dengan siapa akhirnya mereka berjodoh.

Ketika sharing feeling, Acong mengungkapkan bahwa naik gunung bersama tim walk4free Grapiks benar-benar fun dan penuh canda tawa. Vika mengaku tak sabar dengan perjalanan walk4free selanjutnya. Rosan juga mengungkapkan bahwa walk4free ini bisa mempererat hubungan emosional. Ia dan Acong yang ketika SMA tidak terlalu dekat, justru dekat ketika naik gunung. Rosan juga ingin menghilangkan hal-hal negative dari dirinya. Dan hal-hal tersebut menurutnya bisa dilatih dengan naik gunung. Sense of help, humor, discuss, semuanya terlatih dengan sendirinya. Menurut Giri, naik gunung membuatnya memahami karakter banyak orang, termasuk karakter istrinya. Para pria dituntut untuk kuat karena hampir kelima pria itu membawa carrier dengan beban yang super berat, bahkan ketika perjalanan pulang, bawaannya tak kunjung habis.

Tapi perjalanan ini tak sepenuhnya menyenanglkan. Beberapa jam terakhir di perjalanan pulang, kami diguyur hujan. Emosi kami teruji, dengan 15 jam perjalanan pulang yang hanya beberapa kali istirahat. Ditambah jalur pulang yang lebih panjang dari jalur naik. Kami baru sampai di pemukiman warga pukul 1 malam, dan sampai di basecamp grapiks pukul 7 pagi. Zakia sempat mengalami drop, padahal selama di puncak ia sangat ceria dan selalu tertawa. Tapi kondisi hujan dan kelelahan, ditambah pacet yang ada di kakinya, membuat Zakia sedikit shock di perjalanan pertamanya naik gunung ini.

Rosan dan Qinoy mengalami sakit kaki yang lebih parah dari biasanya. Acong juga sempat beberapa kali terjatuh. Rosan mengejek, “Labuh maneh?”. Acong dengan gengsi menjawab, “Teu, urang mah teu labuh da,”.

Salut untuk Mang Adin, Teh Dewi, dan Zakia. Tiga orang yang sering kami khawatirkan tidak bisa sampai ke puncak, tapi ternyata semuanya bisa sampai dengan selamat. Rosan bilang, ada yang harus diselesaikan dalam setiap perjalanan. Ya, semua hambatan-hambatan dan kesulitan itulah yang harus diselesaikan. Tapi semuanya terbayar ketika kami sampai di puncak. Ciremai bagai negeri di atas awan. Dengan segala kecantikannya.

Kami ingin terus ber-walk4free. Berolahraga jalan-kaki. Seperti kata Vika,
“Daripada beli morphin untuk mengeluarkan endorphin, mending olahraga deh,”

Hehe. Setuju. Mari terus ber-walk4free kawan.

Rabu, 11 Februari 2015

Suka Duka Membuat Skripsi

Orang bilang, ujian membuat skripsi nggak ada apa-apanya dibandingkan ujian kehidupan. Ngeri yah. Skripsi aja udah segini memilukannya.

Tapi kemarin lusa A Osan cerita, dia lulus 7 tahun dan mahasiswa terakhir yang lulus diantara semua temen seangkatannya di Unikom. Dia ngehibur Z dengan bilang SPP di UIN itu murah, nggak kayak dia dulu. Dan seenggaknya Z nggak sendirian, masih ada satu dua orang menemani. Lumayan sih Z jadi sedikit semangat, meskipun suka sedih kalau inget semua temen cewek di kelas udah lulus.

Hiburan lainnya datang dari Ansanu. Dia yang penelitiannya gagal total dari sejak persemaian aja enjoy banget. Dan dia nyuruh Z nggak lihat orang-orang yang udah lulus, soalnya kita malah jadi nggak bersyukur. Harusnya liat orang-orang yang lebih tua dari kita dan belum juga lulus.

Hihi. Bener nggak ya harus gitu