Ciremai ini adalah gunung tertinggi di Jawa Barat. Ketinggiannya 3078 mdpl. Dan termasuk salah satu gunung dengan banyak cerita angker. Ini dia cerita lengkap perjalanan kami ke Puncak Ciremai
Selama 3 hari 2 malam, pendekar walk4free melakukan
perjalanan di Gunung Ciremai. 5 orang pria (Giri, Rosan, Qinoy, Acong, dan Mang
Adin), dan 5 orang wanita (Teh Dewi, Vika, Dina, Zakia, dan Zahra).
Mang Adin adalah penjaga kantor Yayasan Grapiks yang sudah
setia selama 8 tahun bersama kami sekaligus peserta tertua di perjalanan kali
ini. Teh Dewi adalah peserta tertua kedua, dan Zakia adalah peserta termuda.
Kami sering mengkhawatirkan Teh Dewi. Pada
pendakian-pendakian sebelumnya, setiap kali kami memasuki trek yang mulai
sulit, biasanya Teh Dewi akan berubah menjadi super pendiam dan tidak akan
mengeluarkan sepatah kata pun, bahkan ketika kami bertanya sesuatu.
“Ayeuna mah Teh Dewi bisa seuri keneh. Tinggali engke
beberapa jam ke depan. Pasti jamedud,” kata Qinoy.
Tapi ternyata selama hampir 24 jam perjalanan naik dan
turun, Teh Dewi tidak melalui fase ‘always jamedud’ tersebut. Bahkan Teh Dewi
menjawab ketika Dina bertanya, “Teh wios Dina nyanyi?”. Meskipun hanya menjawab
2 kata, “Wios Din,”, tapi itu merupakan suatu kemajuan besar.
Qinoy adalah orang yang paling sering menggoda Teh Dewi.
Ketika kami naik kolbak menuju bumi perkemahan berod, di tanjakan yang curam A
Qinoy berteriak, “Teh Dewi, ganjel Teh!” (maksudnya, Teh Dewi disuruh
mengganjal ban mobil karena tubuh Teh Dewi yang cukup besar).
Di hari kedua, pukul 4 shubuh, Zahra dan Teh Dewi buang air
kecil di tengah kegelapan malam. Giliran Teh Dewi, tiba-tiba terdengar bunyi
kentut yang sangat kencang dan beruntun seakan ada benda selain angin yang
keluar dari pantatnya.
Mendadak suasana ramai dengan gelak tawa dari dalam tenda.
“Euleuh, sieun longsor kadieu eta,” Qinoy menggoda Teh Dewi
lagi. Dan kami tertawa. Ketika kami memperingati Qinoy, “Noy, tong ngaheureuyan
Teh Dewi wae, bisi bogoh,”, Qinoy menjawab tak sopan, “Moal, Teh Dewi mah tos
dianggap siga Nini abi,”. Hehe. Lancang sekali.
Meskipun tidak sopan, tapi Qinoy sangat baik hati. Ia
mengangkut tas-tas kami ke atas elf ketika perjalanan pulang, ia bahkan
mengumpulkan tissue-tissue basah yang kami gunakan untuk buang air kecil ke
dalam satu kresek supaya sampahnya tidak berceceran.
Di perjalanan kali ini juga ada Dina yang membuat perjalanan
kita semenit pun tidak pernah dihinggapi sepi. Dengan banyak bicara dan
bernyanyi, ia mendapat energy lebih banyak. Zakia ikut menyanyi bersama bibinya
itu. Dina juga sering membuat kami tertawa dengan sifatnya yang jail, yang
senang menggoda acong dan mengatakan bahwa Acong telah mengalihkan dunianya.
Dina juga sangat seterong. Dalam kondisi kaki yang terkilir, Dina masih bisa
mengangkut carriernya dan berceloteh panjang lebar. Konon, ia merasa malu oleh
The Dewi yang usianya jauh lebih tua darinya tapi bisa melewati semuanya. Ketika
ada 6 orang pendaki remaja yang terjebak tengah malam di tenda kami karena
hujan, Dina lah yang membuatkan mereka cream soup dan memanaskan air minum
untuk mereka ketika kami semua sudah siap dalam posisi tidur.
Tapi Dina agak lemot juga. Dari awal keberangkatan, kami
sudah berencana akan ngecamp di pos 3 untuk malam pertama.
“Mending pas engke di pos 3, urang ngecamp heula,” Dina sok
memberi ide.
“Kan emang kitu rencanana kak,” kata Zahra.
Lalu Rosan berpura-pura lemot juga untuk menyindir Dina,
“Ceuk urang mah mending di pos 3 we ngecamp na,”
“Ih ulah. Mending di pos 3 we,” Teh Dewi ikut-ikutan.
“Kumaha mun di pos 3 wae?” Tanya Vika ikut bodoh.
“Ah, udah di pos 3 aja lah,” Rosan lebih bodoh lagi.
“Tos atos. Urang Tanya pendapat A Giri. Ceuk A Giri mending
kumaha?” Qinoy sok menengahi.
A Giri menjawab singkat, “karoslet kabeh,”
Lalu kami pun tertawa.
Perjalanan kali ini benar-benar membuat kami semua korslet.
Bahkan Mang Adin pun ikut-ikutan.
Ketika istirahat di sebuah tempat, Dina menceritakan bahwa
dulu gigi Teh Dewi ditempeli berlian. Entah benar atau tidak, karena Dina
memang suka mengarang cerita semacam itu. Ketika berkenalan dengan pendaki
lain, Dina mengatakan bahwa Teh Dewi punya pabrik roti dan tahu, padahal itu
hanya karangannya saja. Tapi gossip tentang Teh Dewi pernah menggunakan gigi
berlian membuat Zahra penasaran.
“Bener gitu Teh?” tanyanya.
“Bener,” jawab Teh Dewi.
Mang Adin tiba-tiba menjawab, “Ayeuna mah batu berlian na
tos digentos ku batu akik,”
Kami semua tertawa, lalu menggoda Mang Adin. “Cieee Mang
Adin ngelucu Cieee,”.
Bahkan Giri yang biasanya tidak banyak bicara pun kali ini
bisa melucu. Malam sebelum kami tidur, Giri memanggil Vika sang istri.
“Teh?”
“Iya a?” jawab Vika.
“Jangan lupa pake buff,” Buff adalah kain semacam syal untuk
menutupi wajah.
“Kenapa?” Tanya Vika.
Kami kira Giri akan menjawab, takut ada hewan kecil yang
masuk ke hidung. Tapi ternyata,
“Ngorok teteh gede,”
Serentak kami tertawa terbahak-bahak, karena Giri jarang
sekali berbicara selama perjalanan. Lagi, kami menggodai, “Cieee a Giri ngelucu
cieee,”
Berkebalikan dengan Dina, Vika istri Giri sangat manja dan
tergantung pada suami. Lebih dari seratus kali kami mendengar Vika mengeluh,
“Aa.. tolongin..”
“Aa atuh aa.. teteh Teh cape,”
“Aa.. teteh Teh gemuk jadi wajar atuh lambat,”
“Aa.. anterin pipis,”
“Aa.. a amah nggak ngerti ya sama teteh,”
Padahal anak sulungnya yang ikut pun tidak mengeluh seperti
itu. Saking seringnya memanggil, “Aa..” kami sering menggodain. Terutama Rosan,
Acong, dan Qinoy. Mereka sering menyindir, “Aa.. ombeh-in aku dong aa. Cebok-in
aku aa,”. Vika hanya tertawa saja disindir seperti itu.
Walk4free pada dasarnya bertujuan untuk membebaskan diri
dari hal-hal negative. Karena itu sebisa mungkin perjalanan ini diisi oleh
obrolan-obrolan yang positif. Saat itu kami sedang membahas pentingnya kata ‘punteun’
atau ‘maaf’ ketika minta tolong pada seseorang. Dina langsung memanfaatkan
momen ini.
“Osan, punteun lah geura beresan tenda,” katanya pada Rosan.
“De, punteun lah pangbereskeun tenda,” Rosan malah menyuruh
Zahra.
“A Qinoy, punteun lah ceuk a Osan pangbereskeun tenda,”
Zahra menyuruh Qinoy.
“Cong, itu punteun ceuk si Ade pangbereskeun tenda,” Qinoy
meminta pada Acong.
“Din, sori pisan pangbereskeun tenda,”
Kami langsung tertawa. Kapan ada ujungnya
Banyak gossip percintaan yang terjadi selama perjalanan.
Tentu saja bukan benar-benar kenyataan. Awalnya Teh Dewi digosipkan dengan
Acong si brondong. Lalu Acong digosipkan dengan Zakia (yang merupakan anak
sulung Vika dan Giri), Zahra, dan Dina. Dina yang mengungkapkan pada Acong
bahwa Acong telah mengalihkan dunianya (tentu saja ini tidak betulan). Kaka
digosipkan dengan Rosan, Acong, Qinoy, dan Mang Adin. Tapi yang paling hangat
adalah gossip cinta segitiga antara Rosan, Qinoy, dan Acong. Diduga, alasan 3
pria lajang ini belum menikah adalah karena ada rasa terpendam antara
ketiganya. Di gunung, orientasi seksual menjadi remang. Rosan mendadak gemulai,
“aduuh, celana ekeu melorot booo,”. Qinoy mendadak ingin menggunakan lipstick
Zahra supaya terlihat cantik di depan Acong dan katanya supaya lebih enak bermanja-manja
dengan Acong. Giri menolong Qinoy dengan memegang tangannya saja langsung
disoraki, “Cieee pegangan tangan cieee,”
Entahlah, dengan siapa akhirnya mereka berjodoh.
Ketika sharing feeling, Acong mengungkapkan bahwa naik
gunung bersama tim walk4free Grapiks benar-benar fun dan penuh canda tawa. Vika
mengaku tak sabar dengan perjalanan walk4free selanjutnya. Rosan juga
mengungkapkan bahwa walk4free ini bisa mempererat hubungan emosional. Ia dan
Acong yang ketika SMA tidak terlalu dekat, justru dekat ketika naik gunung. Rosan
juga ingin menghilangkan hal-hal negative dari dirinya. Dan hal-hal tersebut
menurutnya bisa dilatih dengan naik gunung. Sense of help, humor, discuss,
semuanya terlatih dengan sendirinya. Menurut Giri, naik gunung membuatnya memahami
karakter banyak orang, termasuk karakter istrinya. Para pria dituntut untuk
kuat karena hampir kelima pria itu membawa carrier dengan beban yang super
berat, bahkan ketika perjalanan pulang, bawaannya tak kunjung habis.
Tapi perjalanan ini tak sepenuhnya menyenanglkan. Beberapa
jam terakhir di perjalanan pulang, kami diguyur hujan. Emosi kami teruji,
dengan 15 jam perjalanan pulang yang hanya beberapa kali istirahat. Ditambah
jalur pulang yang lebih panjang dari jalur naik. Kami baru sampai di pemukiman
warga pukul 1 malam, dan sampai di basecamp grapiks pukul 7 pagi. Zakia sempat
mengalami drop, padahal selama di puncak ia sangat ceria dan selalu tertawa.
Tapi kondisi hujan dan kelelahan, ditambah pacet yang ada di kakinya, membuat
Zakia sedikit shock di perjalanan pertamanya naik gunung ini.
Rosan dan Qinoy mengalami sakit kaki yang lebih parah dari
biasanya. Acong juga sempat beberapa kali terjatuh. Rosan mengejek, “Labuh
maneh?”. Acong dengan gengsi menjawab, “Teu, urang mah teu labuh da,”.
Salut untuk Mang Adin, Teh Dewi, dan Zakia. Tiga orang yang
sering kami khawatirkan tidak bisa sampai ke puncak, tapi ternyata semuanya
bisa sampai dengan selamat. Rosan bilang, ada yang harus diselesaikan dalam
setiap perjalanan. Ya, semua hambatan-hambatan dan kesulitan itulah yang harus
diselesaikan. Tapi semuanya terbayar ketika kami sampai di puncak. Ciremai
bagai negeri di atas awan. Dengan segala kecantikannya.
Kami ingin terus ber-walk4free. Berolahraga jalan-kaki.
Seperti kata Vika,
“Daripada beli morphin untuk mengeluarkan endorphin, mending
olahraga deh,”
Hehe. Setuju. Mari terus ber-walk4free kawan.