Ada cerita yang sedikit mistis dari perjalanan Walk 4 Free
ke Puncak Rakutak kali ini.
Sebelumnya harap diketahui, perjalanan yang seharusnya tidak
memakan waktu terlalu lama ini terasa lebih panjang karena melibatkan berbagai
kalangan. Ibu-ibu, bapak-bapak, lajang, gadis, hingga LSL (lelaki suka lelaki),
sehingga kami sering berhenti untuk sekedar istirahat, merumpi, popotoan, atau
menggoda pendaki lain.
Kami menemukan satu-satunya warung yang ada di ketinggian
lebih dari 700 mdpl. Pemilik warung tersebut adalah pria sederhana dengan
sandal jepit hampir putus. Dari hasil wawancara yang dilakukan Dina, diketahui
bahwa meskipun penampilannya sederhana, omset dagangannya bisa mencapai
500ribu/hari.
Warung tersebut buka 24 jam, menjual bala-bala, teh manis, dan
kopi. Dan ia pulang ke rumah hanya 1x dalam seminggu. Penjual tersebut memberi
tahu, di atas sudah tidak ada lahan untuk memasang tenda karena pada hari itu
ada 100 lebih pendaki lain dari luar Bandung yang sedang mendaki. Akhirnya kami
memutuskan memasang tenda di dekat tukang warung tersebut dan akan ke puncak
keesokan harinya.
Ba’da maghrib, Kami berkumpul di warung sambil menghangatkan
diri di sekitar perapian. Ditengah tawa kami, tiba-tiba muncul Kinoy membawa Teh
Dian dalam kondisi menggigil dan wajahnya pucat pasi. Ia beristighfar terus
menerus. Untuk sepersekian detik, kami malah tertegun. Sebelum maghrib tadi, Teh
Dian izin pergi ke tenda karena merasa kelelahan. Ini adalah kali pertama ia
naik ke gunung dengan trek seperti ini.
Melihat Teh Dian ketakutan, kami segera
merangkul dan mengelilinginya. Kami mengusapnya dan menanyakan pada Kinoy apa
yang terjadi. Sebelum Kinoy menjawab, Teh Dian tiba-tiba berteriak pada Vika, “TEH
VIKAAA!!! Itu di belakang!!!”. Vika kaget, lalu memeluk Zahra. Vika malah
memakai kacamata hitam, entah untuk apa. Kami lalu menyuruh Teh Dian berbaring
diatas tikar. Kami mengusapnya, lalu menyuruhnya membaca istighfar. Dengan
kalimat terbata-bata, Teh Dian bercerita, ketika ia sedang meringkuk di dalam
tenda, ia mendengar banyak orang masuk ke dalam tenda. Ia kira orang-orang itu
adalah kami. Semakin lama, semakin banyak. Dan tiba-tiba ada suara berbisik,
ingin memeluk Teh Dian.
Beberapa menit setelah menceritakan hal itu, Teh Dian
berhenti membaca istighfar, lalu bola matanya terus melirik kearah kiri, ke
hutan yang gelap dan tidak ada cahaya sedikitpun. Kami menghalangi pandangannya
supaya ia tidak melihat kesana, tapi Teh Dian tidak mau. Zahra menutupi wajah Teh
Dian dengan tubuhnya. Tapi Teh Dian tetap memandang ke hutan itu.
Muncul Giri dan Mas Doel yang baru tiba dari puncak. Mereka
baru saja memeriksa kalau-kalau ada lahan kosong di atas untuk memasang tenda.
Setelah tidak ada hasil, mereka kembali dan menemukan Teh Dian dalam kondisi
demikian. Giri menyuruh kami memijit jempol kaki Teh Dian dengan kencang.
Setelah kami pijit, Teh Dian tiba-tiba berteriak kencang “Aaaaaaaaaaa!!!”. Ia
bangun dan terlihat linglung.
“Kenapa pada mijitin Dian?” tanyanya heran.
Kami baru menyadari bahwa yang terjadi tadi, adalah diluar
kesadaran Teh Dian. Acong mengatakan, Teh Dian terlalu kecapean sehingga
kondisi pikirannya ikut melemah, dan menjadi kosong. Setelah kejadian ini,
Acong meminta kami lebih awas satu sama lain. Jangan memisahkan diri, dan
hindari kekosongan pikiran. (Cerita ini telah mendapat izin publikasi dari Teh
Dian)
Keesokan harinya kami mulai mendaki dan keadaan kembali
mencair seperti biasa. 11 orang pendekar kali ini adalah :
Mas Doel yang tidak pernah pundungan meski dibully, dan Mas
Doel orangnya sangat bersemangat. Bahkan dalam keadaan kram pun Mas Doel masih
semangat selfie.
“Mas, engke deui popotoanna ai keur kram Mah atuh Mas,” kata
Rosan.
Mas Doel juga sering memiliki ide buruk, “sigana ngagulutuk
ka handap rame da,”. Kami langsung menyoraki Mas Doel dan menyuruhnya
ngagulutuk sendirian.
Dina yang dijuluki alkaline karena sepanjang perjalanan
tidak pernah semenit pun berhenti bicara seakan batrenya tidak pernah habis.
Dina sering tiba-tiba berteriak “SIAPPP GRAK!!!” dengan kencang sehingga
membuat kami reuwas.
Bu Dian dan Kinoy yang seperti Tom and Jerry. Mereka sering
pa-pundung-pundung, marahan, tapi anehnya, tetap saja kemana-mana selalu
bersama. Jika ingin mencari Teh Dian, carilah Kinoy. Maka pasti ada Teh Dian
disana. Ketika Teh Dian jatuh ke kebun tomat, Kinoy siaga mendampinginya agar
Teh Dian tidak jatuh lagi.
Giri yang naik ke puncak dua kali bersama Mas Doel ketika
mengecek lahan kosong untuk pasang tenda, dan kembali tiga jam kemudian hanya
untuk memberitahu di atas tidak ada lahan kosong. Giri tidak suka jika disuruh
mengambil foto dengan sengaja, tetapi ketika orang lain tidak meminta, Giri
akan mengambil foto dengan sendirinya.
Vika yang memasakkan cream soup untuk kami ketika di puncak.
Quote favorit Vika : “Jangan lihat merk kopinya, tapi lihatlah dimana tempat
meminumnya,”. Vika juga menyerahkan sebagian bebannya kepada Giri ketika merasa
kelelahan di tengah perjalanan.
Bu Nenden yang bertemu dengan teman gowes nya yang sudah
lama tidak bertemu di atas gunung. Kami menonton sebuah drama mengharukan dimana
Bu Nenden dan temannya temu kangen dan berpelukan di tengah hutan. Pada
pendakian pertamanya ini, Bu Nenden mengaku kapok.
Acong yang sudah pernah naik ke Rakutak itu adalah lelaki
lajang yang sangat hebat karena bisa mendaki sambil tertidur (matanya
sipit-red.). Acong juga berkali-kali terpeleset di perjalanan pulang. Kami lalu
menyuruhnya segera menikah. Sama halnya seperti pada Acong, Rosan juga sering
kami suruh cepat menikah.
Rosan dan Acong yang merupakan teman satu SMA itu selalu
saling mengejek, padahal mereka sama-sama belum menikah. Selain karena belum
menikah, mereka juga saling mengejek ciri khas fisik masing-masing. Rosan
mengejek Acong “beunta atuh beunta!”, dan Acong mengejek Rosan “naon maneh
hideung”. Tapi tidak ada rasa sakit hati diantara keduanya. (Btw, Rosan adalah
mantan pengguna narkoba Ganja, yang mengalihkan ketergantungannya pada olahraga
naik gunung)
Aum, adalah seorang LSL yang sangat terbuka. Kami
mewawancarainya, apakah ia berminat berganti haluan menyukai wanita. Tapi Aum
membela diri dengan mengatakan, “Suka sama laki-laki itu nggak dosa, yang dosa
itu seksnya. Cowo suka sama cewek juga kan nggak dosa, yang dosa itu berbuat
seksnya,”. Hihi. Pendakian ini adalah pendakian Aum yang pertama. Dan ia
mengaku tidak kapok. Bahkan di pendakian selanjutnya, ia sudah mendaftarkan
diri, berikut beberapa orang temannya yang juga ingin ikut mendaki.
Sampai saat ini kami tidak tahu kenapa orang ketagihan
mendaki gunung, padahal yang dilihat sepanjang perjalanan hanya itu-itu saja.
Pohon, ranting, tanah, pacet, atau paling sial, kotoran manusia. Tapi mungkin karena
kesulitan yang dilalui, dan kepuasan yang dirasakan, kami jadi ingin dan ingin
lagi mendaki. Dan setiap gunung punya ciri khas nya sendiri.