Furniture Pallet di Kota Bandung

Furniture Pallet di Kota Bandung
Zahra Shafiyah, Owner Sang Petani Pallet Furniture

Minggu, 26 April 2015

Pengalaman Mendaki ke Puncak Gunung Ciremai


Ciremai ini adalah gunung tertinggi di Jawa Barat. Ketinggiannya 3078 mdpl. Dan termasuk salah satu gunung dengan banyak cerita angker. Ini dia cerita lengkap perjalanan kami ke Puncak Ciremai



Selama 3 hari 2 malam, pendekar walk4free melakukan perjalanan di Gunung Ciremai. 5 orang pria (Giri, Rosan, Qinoy, Acong, dan Mang Adin), dan 5 orang wanita (Teh Dewi, Vika, Dina, Zakia, dan Zahra).

Mang Adin adalah penjaga kantor Yayasan Grapiks yang sudah setia selama 8 tahun bersama kami sekaligus peserta tertua di perjalanan kali ini. Teh Dewi adalah peserta tertua kedua, dan Zakia adalah peserta termuda.

Kami sering mengkhawatirkan Teh Dewi. Pada pendakian-pendakian sebelumnya, setiap kali kami memasuki trek yang mulai sulit, biasanya Teh Dewi akan berubah menjadi super pendiam dan tidak akan mengeluarkan sepatah kata pun, bahkan ketika kami bertanya sesuatu.

“Ayeuna mah Teh Dewi bisa seuri keneh. Tinggali engke beberapa jam ke depan. Pasti jamedud,” kata Qinoy.

Tapi ternyata selama hampir 24 jam perjalanan naik dan turun, Teh Dewi tidak melalui fase ‘always jamedud’ tersebut. Bahkan Teh Dewi menjawab ketika Dina bertanya, “Teh wios Dina nyanyi?”. Meskipun hanya menjawab 2 kata, “Wios Din,”, tapi itu merupakan suatu kemajuan besar.

Qinoy adalah orang yang paling sering menggoda Teh Dewi. Ketika kami naik kolbak menuju bumi perkemahan berod, di tanjakan yang curam A Qinoy berteriak, “Teh Dewi, ganjel Teh!” (maksudnya, Teh Dewi disuruh mengganjal ban mobil karena tubuh Teh Dewi yang cukup besar).

Di hari kedua, pukul 4 shubuh, Zahra dan Teh Dewi buang air kecil di tengah kegelapan malam. Giliran Teh Dewi, tiba-tiba terdengar bunyi kentut yang sangat kencang dan beruntun seakan ada benda selain angin yang keluar dari pantatnya.

Mendadak suasana ramai dengan gelak tawa dari dalam tenda.

“Euleuh, sieun longsor kadieu eta,” Qinoy menggoda Teh Dewi lagi. Dan kami tertawa. Ketika kami memperingati Qinoy, “Noy, tong ngaheureuyan Teh Dewi wae, bisi bogoh,”, Qinoy menjawab tak sopan, “Moal, Teh Dewi mah tos dianggap siga Nini abi,”. Hehe. Lancang sekali.

Meskipun tidak sopan, tapi Qinoy sangat baik hati. Ia mengangkut tas-tas kami ke atas elf ketika perjalanan pulang, ia bahkan mengumpulkan tissue-tissue basah yang kami gunakan untuk buang air kecil ke dalam satu kresek supaya sampahnya tidak berceceran.

Di perjalanan kali ini juga ada Dina yang membuat perjalanan kita semenit pun tidak pernah dihinggapi sepi. Dengan banyak bicara dan bernyanyi, ia mendapat energy lebih banyak. Zakia ikut menyanyi bersama bibinya itu. Dina juga sering membuat kami tertawa dengan sifatnya yang jail, yang senang menggoda acong dan mengatakan bahwa Acong telah mengalihkan dunianya. Dina juga sangat seterong. Dalam kondisi kaki yang terkilir, Dina masih bisa mengangkut carriernya dan berceloteh panjang lebar. Konon, ia merasa malu oleh The Dewi yang usianya jauh lebih tua darinya tapi bisa melewati semuanya. Ketika ada 6 orang pendaki remaja yang terjebak tengah malam di tenda kami karena hujan, Dina lah yang membuatkan mereka cream soup dan memanaskan air minum untuk mereka ketika kami semua sudah siap dalam posisi tidur.

Tapi Dina agak lemot juga. Dari awal keberangkatan, kami sudah berencana akan ngecamp di pos 3 untuk malam pertama.
“Mending pas engke di pos 3, urang ngecamp heula,” Dina sok memberi ide.
“Kan emang kitu rencanana kak,” kata Zahra.
Lalu Rosan berpura-pura lemot juga untuk menyindir Dina, “Ceuk urang mah mending di pos 3 we ngecamp na,”
“Ih ulah. Mending di pos 3 we,” Teh Dewi ikut-ikutan.
“Kumaha mun di pos 3 wae?” Tanya Vika ikut bodoh.
“Ah, udah di pos 3 aja lah,” Rosan lebih bodoh lagi.
“Tos atos. Urang Tanya pendapat A Giri. Ceuk A Giri mending kumaha?” Qinoy sok menengahi.
A Giri menjawab singkat, “karoslet kabeh,”
Lalu kami pun tertawa.

Perjalanan kali ini benar-benar membuat kami semua korslet. Bahkan Mang Adin pun ikut-ikutan.

Ketika istirahat di sebuah tempat, Dina menceritakan bahwa dulu gigi Teh Dewi ditempeli berlian. Entah benar atau tidak, karena Dina memang suka mengarang cerita semacam itu. Ketika berkenalan dengan pendaki lain, Dina mengatakan bahwa Teh Dewi punya pabrik roti dan tahu, padahal itu hanya karangannya saja. Tapi gossip tentang Teh Dewi pernah menggunakan gigi berlian membuat Zahra penasaran.

“Bener gitu Teh?” tanyanya.
“Bener,” jawab Teh Dewi.
Mang Adin tiba-tiba menjawab, “Ayeuna mah batu berlian na tos digentos ku batu akik,”
Kami semua tertawa, lalu menggoda Mang Adin. “Cieee Mang Adin ngelucu Cieee,”.

Bahkan Giri yang biasanya tidak banyak bicara pun kali ini bisa melucu. Malam sebelum kami tidur, Giri memanggil Vika sang istri.
“Teh?”
“Iya a?” jawab Vika.
“Jangan lupa pake buff,” Buff adalah kain semacam syal untuk menutupi wajah.
“Kenapa?” Tanya Vika.
Kami kira Giri akan menjawab, takut ada hewan kecil yang masuk ke hidung. Tapi ternyata,
“Ngorok teteh gede,”
Serentak kami tertawa terbahak-bahak, karena Giri jarang sekali berbicara selama perjalanan. Lagi, kami menggodai, “Cieee a Giri ngelucu cieee,”

Berkebalikan dengan Dina, Vika istri Giri sangat manja dan tergantung pada suami. Lebih dari seratus kali kami mendengar Vika mengeluh,
“Aa.. tolongin..”
“Aa atuh aa.. teteh Teh cape,”
“Aa.. teteh Teh gemuk jadi wajar atuh lambat,”
“Aa.. anterin pipis,”
“Aa.. a amah nggak ngerti ya sama teteh,”

Padahal anak sulungnya yang ikut pun tidak mengeluh seperti itu. Saking seringnya memanggil, “Aa..” kami sering menggodain. Terutama Rosan, Acong, dan Qinoy. Mereka sering menyindir, “Aa.. ombeh-in aku dong aa. Cebok-in aku aa,”. Vika hanya tertawa saja disindir seperti itu.

Walk4free pada dasarnya bertujuan untuk membebaskan diri dari hal-hal negative. Karena itu sebisa mungkin perjalanan ini diisi oleh obrolan-obrolan yang positif. Saat itu kami sedang membahas pentingnya kata ‘punteun’ atau ‘maaf’ ketika minta tolong pada seseorang. Dina langsung memanfaatkan momen ini.
“Osan, punteun lah geura beresan tenda,” katanya pada Rosan.
“De, punteun lah pangbereskeun tenda,” Rosan malah menyuruh Zahra.
“A Qinoy, punteun lah ceuk a Osan pangbereskeun tenda,” Zahra menyuruh Qinoy.
“Cong, itu punteun ceuk si Ade pangbereskeun tenda,” Qinoy meminta pada Acong.
“Din, sori pisan pangbereskeun tenda,”
Kami langsung tertawa. Kapan ada ujungnya

Banyak gossip percintaan yang terjadi selama perjalanan. Tentu saja bukan benar-benar kenyataan. Awalnya Teh Dewi digosipkan dengan Acong si brondong. Lalu Acong digosipkan dengan Zakia (yang merupakan anak sulung Vika dan Giri), Zahra, dan Dina. Dina yang mengungkapkan pada Acong bahwa Acong telah mengalihkan dunianya (tentu saja ini tidak betulan). Kaka digosipkan dengan Rosan, Acong, Qinoy, dan Mang Adin. Tapi yang paling hangat adalah gossip cinta segitiga antara Rosan, Qinoy, dan Acong. Diduga, alasan 3 pria lajang ini belum menikah adalah karena ada rasa terpendam antara ketiganya. Di gunung, orientasi seksual menjadi remang. Rosan mendadak gemulai, “aduuh, celana ekeu melorot booo,”. Qinoy mendadak ingin menggunakan lipstick Zahra supaya terlihat cantik di depan Acong dan katanya supaya lebih enak bermanja-manja dengan Acong. Giri menolong Qinoy dengan memegang tangannya saja langsung disoraki, “Cieee pegangan tangan cieee,”

Entahlah, dengan siapa akhirnya mereka berjodoh.

Ketika sharing feeling, Acong mengungkapkan bahwa naik gunung bersama tim walk4free Grapiks benar-benar fun dan penuh canda tawa. Vika mengaku tak sabar dengan perjalanan walk4free selanjutnya. Rosan juga mengungkapkan bahwa walk4free ini bisa mempererat hubungan emosional. Ia dan Acong yang ketika SMA tidak terlalu dekat, justru dekat ketika naik gunung. Rosan juga ingin menghilangkan hal-hal negative dari dirinya. Dan hal-hal tersebut menurutnya bisa dilatih dengan naik gunung. Sense of help, humor, discuss, semuanya terlatih dengan sendirinya. Menurut Giri, naik gunung membuatnya memahami karakter banyak orang, termasuk karakter istrinya. Para pria dituntut untuk kuat karena hampir kelima pria itu membawa carrier dengan beban yang super berat, bahkan ketika perjalanan pulang, bawaannya tak kunjung habis.

Tapi perjalanan ini tak sepenuhnya menyenanglkan. Beberapa jam terakhir di perjalanan pulang, kami diguyur hujan. Emosi kami teruji, dengan 15 jam perjalanan pulang yang hanya beberapa kali istirahat. Ditambah jalur pulang yang lebih panjang dari jalur naik. Kami baru sampai di pemukiman warga pukul 1 malam, dan sampai di basecamp grapiks pukul 7 pagi. Zakia sempat mengalami drop, padahal selama di puncak ia sangat ceria dan selalu tertawa. Tapi kondisi hujan dan kelelahan, ditambah pacet yang ada di kakinya, membuat Zakia sedikit shock di perjalanan pertamanya naik gunung ini.

Rosan dan Qinoy mengalami sakit kaki yang lebih parah dari biasanya. Acong juga sempat beberapa kali terjatuh. Rosan mengejek, “Labuh maneh?”. Acong dengan gengsi menjawab, “Teu, urang mah teu labuh da,”.

Salut untuk Mang Adin, Teh Dewi, dan Zakia. Tiga orang yang sering kami khawatirkan tidak bisa sampai ke puncak, tapi ternyata semuanya bisa sampai dengan selamat. Rosan bilang, ada yang harus diselesaikan dalam setiap perjalanan. Ya, semua hambatan-hambatan dan kesulitan itulah yang harus diselesaikan. Tapi semuanya terbayar ketika kami sampai di puncak. Ciremai bagai negeri di atas awan. Dengan segala kecantikannya.

Kami ingin terus ber-walk4free. Berolahraga jalan-kaki. Seperti kata Vika,
“Daripada beli morphin untuk mengeluarkan endorphin, mending olahraga deh,”

Hehe. Setuju. Mari terus ber-walk4free kawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar