Furniture Pallet di Kota Bandung

Furniture Pallet di Kota Bandung
Zahra Shafiyah, Owner Sang Petani Pallet Furniture

Minggu, 26 April 2015

Pengalaman Mendaki ke Puncak Rakutak


Ada cerita yang sedikit mistis dari perjalanan Walk 4 Free ke Puncak Rakutak kali ini.

Sebelumnya harap diketahui, perjalanan yang seharusnya tidak memakan waktu terlalu lama ini terasa lebih panjang karena melibatkan berbagai kalangan. Ibu-ibu, bapak-bapak, lajang, gadis, hingga LSL (lelaki suka lelaki), sehingga kami sering berhenti untuk sekedar istirahat, merumpi, popotoan, atau menggoda pendaki lain.

Kami menemukan satu-satunya warung yang ada di ketinggian lebih dari 700 mdpl. Pemilik warung tersebut adalah pria sederhana dengan sandal jepit hampir putus. Dari hasil wawancara yang dilakukan Dina, diketahui bahwa meskipun penampilannya sederhana, omset dagangannya bisa mencapai 500ribu/hari. 

Warung tersebut buka 24 jam, menjual bala-bala, teh manis, dan kopi. Dan ia pulang ke rumah hanya 1x dalam seminggu. Penjual tersebut memberi tahu, di atas sudah tidak ada lahan untuk memasang tenda karena pada hari itu ada 100 lebih pendaki lain dari luar Bandung yang sedang mendaki. Akhirnya kami memutuskan memasang tenda di dekat tukang warung tersebut dan akan ke puncak keesokan harinya.

Ba’da maghrib, Kami berkumpul di warung sambil menghangatkan diri di sekitar perapian. Ditengah tawa kami, tiba-tiba muncul Kinoy membawa Teh Dian dalam kondisi menggigil dan wajahnya pucat pasi. Ia beristighfar terus menerus. Untuk sepersekian detik, kami malah tertegun. Sebelum maghrib tadi, Teh Dian izin pergi ke tenda karena merasa kelelahan. Ini adalah kali pertama ia naik ke gunung dengan trek seperti ini. 

Melihat Teh Dian ketakutan, kami segera merangkul dan mengelilinginya. Kami mengusapnya dan menanyakan pada Kinoy apa yang terjadi. Sebelum Kinoy menjawab, Teh Dian tiba-tiba berteriak pada Vika, “TEH VIKAAA!!! Itu di belakang!!!”. Vika kaget, lalu memeluk Zahra. Vika malah memakai kacamata hitam, entah untuk apa. Kami lalu menyuruh Teh Dian berbaring diatas tikar. Kami mengusapnya, lalu menyuruhnya membaca istighfar. Dengan kalimat terbata-bata, Teh Dian bercerita, ketika ia sedang meringkuk di dalam tenda, ia mendengar banyak orang masuk ke dalam tenda. Ia kira orang-orang itu adalah kami. Semakin lama, semakin banyak. Dan tiba-tiba ada suara berbisik, ingin memeluk Teh Dian.

Beberapa menit setelah menceritakan hal itu, Teh Dian berhenti membaca istighfar, lalu bola matanya terus melirik kearah kiri, ke hutan yang gelap dan tidak ada cahaya sedikitpun. Kami menghalangi pandangannya supaya ia tidak melihat kesana, tapi Teh Dian tidak mau. Zahra menutupi wajah Teh Dian dengan tubuhnya. Tapi Teh Dian tetap memandang ke hutan itu.

Muncul Giri dan Mas Doel yang baru tiba dari puncak. Mereka baru saja memeriksa kalau-kalau ada lahan kosong di atas untuk memasang tenda. Setelah tidak ada hasil, mereka kembali dan menemukan Teh Dian dalam kondisi demikian. Giri menyuruh kami memijit jempol kaki Teh Dian dengan kencang. Setelah kami pijit, Teh Dian tiba-tiba berteriak kencang “Aaaaaaaaaaa!!!”. Ia bangun dan terlihat linglung.
“Kenapa pada mijitin Dian?” tanyanya heran.

Kami baru menyadari bahwa yang terjadi tadi, adalah diluar kesadaran Teh Dian. Acong mengatakan, Teh Dian terlalu kecapean sehingga kondisi pikirannya ikut melemah, dan menjadi kosong. Setelah kejadian ini, Acong meminta kami lebih awas satu sama lain. Jangan memisahkan diri, dan hindari kekosongan pikiran. (Cerita ini telah mendapat izin publikasi dari Teh Dian)

Keesokan harinya kami mulai mendaki dan keadaan kembali mencair seperti biasa. 11 orang pendekar kali ini adalah :

Mas Doel yang tidak pernah pundungan meski dibully, dan Mas Doel orangnya sangat bersemangat. Bahkan dalam keadaan kram pun Mas Doel masih semangat selfie.
“Mas, engke deui popotoanna ai keur kram Mah atuh Mas,” kata Rosan.
Mas Doel juga sering memiliki ide buruk, “sigana ngagulutuk ka handap rame da,”. Kami langsung menyoraki Mas Doel dan menyuruhnya ngagulutuk sendirian.
Dina yang dijuluki alkaline karena sepanjang perjalanan tidak pernah semenit pun berhenti bicara seakan batrenya tidak pernah habis. Dina sering tiba-tiba berteriak “SIAPPP GRAK!!!” dengan kencang sehingga membuat kami reuwas.

Bu Dian dan Kinoy yang seperti Tom and Jerry. Mereka sering pa-pundung-pundung, marahan, tapi anehnya, tetap saja kemana-mana selalu bersama. Jika ingin mencari Teh Dian, carilah Kinoy. Maka pasti ada Teh Dian disana. Ketika Teh Dian jatuh ke kebun tomat, Kinoy siaga mendampinginya agar Teh Dian tidak jatuh lagi.

Giri yang naik ke puncak dua kali bersama Mas Doel ketika mengecek lahan kosong untuk pasang tenda, dan kembali tiga jam kemudian hanya untuk memberitahu di atas tidak ada lahan kosong. Giri tidak suka jika disuruh mengambil foto dengan sengaja, tetapi ketika orang lain tidak meminta, Giri akan mengambil foto dengan sendirinya.

Vika yang memasakkan cream soup untuk kami ketika di puncak. Quote favorit Vika : “Jangan lihat merk kopinya, tapi lihatlah dimana tempat meminumnya,”. Vika juga menyerahkan sebagian bebannya kepada Giri ketika merasa kelelahan di tengah perjalanan.

Bu Nenden yang bertemu dengan teman gowes nya yang sudah lama tidak bertemu di atas gunung. Kami menonton sebuah drama mengharukan dimana Bu Nenden dan temannya temu kangen dan berpelukan di tengah hutan. Pada pendakian pertamanya ini, Bu Nenden mengaku kapok.

Acong yang sudah pernah naik ke Rakutak itu adalah lelaki lajang yang sangat hebat karena bisa mendaki sambil tertidur (matanya sipit-red.). Acong juga berkali-kali terpeleset di perjalanan pulang. Kami lalu menyuruhnya segera menikah. Sama halnya seperti pada Acong, Rosan juga sering kami suruh cepat menikah.

Rosan dan Acong yang merupakan teman satu SMA itu selalu saling mengejek, padahal mereka sama-sama belum menikah. Selain karena belum menikah, mereka juga saling mengejek ciri khas fisik masing-masing. Rosan mengejek Acong “beunta atuh beunta!”, dan Acong mengejek Rosan “naon maneh hideung”. Tapi tidak ada rasa sakit hati diantara keduanya. (Btw, Rosan adalah mantan pengguna narkoba Ganja, yang mengalihkan ketergantungannya pada olahraga naik gunung)

Aum, adalah seorang LSL yang sangat terbuka. Kami mewawancarainya, apakah ia berminat berganti haluan menyukai wanita. Tapi Aum membela diri dengan mengatakan, “Suka sama laki-laki itu nggak dosa, yang dosa itu seksnya. Cowo suka sama cewek juga kan nggak dosa, yang dosa itu berbuat seksnya,”. Hihi. Pendakian ini adalah pendakian Aum yang pertama. Dan ia mengaku tidak kapok. Bahkan di pendakian selanjutnya, ia sudah mendaftarkan diri, berikut beberapa orang temannya yang juga ingin ikut mendaki.
Sampai saat ini kami tidak tahu kenapa orang ketagihan mendaki gunung, padahal yang dilihat sepanjang perjalanan hanya itu-itu saja. Pohon, ranting, tanah, pacet, atau paling sial, kotoran manusia. Tapi mungkin karena kesulitan yang dilalui, dan kepuasan yang dirasakan, kami jadi ingin dan ingin lagi mendaki. Dan setiap gunung punya ciri khas nya sendiri.



Pengalaman Mendaki ke Puncak Gunung Ciremai


Ciremai ini adalah gunung tertinggi di Jawa Barat. Ketinggiannya 3078 mdpl. Dan termasuk salah satu gunung dengan banyak cerita angker. Ini dia cerita lengkap perjalanan kami ke Puncak Ciremai



Selama 3 hari 2 malam, pendekar walk4free melakukan perjalanan di Gunung Ciremai. 5 orang pria (Giri, Rosan, Qinoy, Acong, dan Mang Adin), dan 5 orang wanita (Teh Dewi, Vika, Dina, Zakia, dan Zahra).

Mang Adin adalah penjaga kantor Yayasan Grapiks yang sudah setia selama 8 tahun bersama kami sekaligus peserta tertua di perjalanan kali ini. Teh Dewi adalah peserta tertua kedua, dan Zakia adalah peserta termuda.

Kami sering mengkhawatirkan Teh Dewi. Pada pendakian-pendakian sebelumnya, setiap kali kami memasuki trek yang mulai sulit, biasanya Teh Dewi akan berubah menjadi super pendiam dan tidak akan mengeluarkan sepatah kata pun, bahkan ketika kami bertanya sesuatu.

“Ayeuna mah Teh Dewi bisa seuri keneh. Tinggali engke beberapa jam ke depan. Pasti jamedud,” kata Qinoy.

Tapi ternyata selama hampir 24 jam perjalanan naik dan turun, Teh Dewi tidak melalui fase ‘always jamedud’ tersebut. Bahkan Teh Dewi menjawab ketika Dina bertanya, “Teh wios Dina nyanyi?”. Meskipun hanya menjawab 2 kata, “Wios Din,”, tapi itu merupakan suatu kemajuan besar.

Qinoy adalah orang yang paling sering menggoda Teh Dewi. Ketika kami naik kolbak menuju bumi perkemahan berod, di tanjakan yang curam A Qinoy berteriak, “Teh Dewi, ganjel Teh!” (maksudnya, Teh Dewi disuruh mengganjal ban mobil karena tubuh Teh Dewi yang cukup besar).

Di hari kedua, pukul 4 shubuh, Zahra dan Teh Dewi buang air kecil di tengah kegelapan malam. Giliran Teh Dewi, tiba-tiba terdengar bunyi kentut yang sangat kencang dan beruntun seakan ada benda selain angin yang keluar dari pantatnya.

Mendadak suasana ramai dengan gelak tawa dari dalam tenda.

“Euleuh, sieun longsor kadieu eta,” Qinoy menggoda Teh Dewi lagi. Dan kami tertawa. Ketika kami memperingati Qinoy, “Noy, tong ngaheureuyan Teh Dewi wae, bisi bogoh,”, Qinoy menjawab tak sopan, “Moal, Teh Dewi mah tos dianggap siga Nini abi,”. Hehe. Lancang sekali.

Meskipun tidak sopan, tapi Qinoy sangat baik hati. Ia mengangkut tas-tas kami ke atas elf ketika perjalanan pulang, ia bahkan mengumpulkan tissue-tissue basah yang kami gunakan untuk buang air kecil ke dalam satu kresek supaya sampahnya tidak berceceran.

Di perjalanan kali ini juga ada Dina yang membuat perjalanan kita semenit pun tidak pernah dihinggapi sepi. Dengan banyak bicara dan bernyanyi, ia mendapat energy lebih banyak. Zakia ikut menyanyi bersama bibinya itu. Dina juga sering membuat kami tertawa dengan sifatnya yang jail, yang senang menggoda acong dan mengatakan bahwa Acong telah mengalihkan dunianya. Dina juga sangat seterong. Dalam kondisi kaki yang terkilir, Dina masih bisa mengangkut carriernya dan berceloteh panjang lebar. Konon, ia merasa malu oleh The Dewi yang usianya jauh lebih tua darinya tapi bisa melewati semuanya. Ketika ada 6 orang pendaki remaja yang terjebak tengah malam di tenda kami karena hujan, Dina lah yang membuatkan mereka cream soup dan memanaskan air minum untuk mereka ketika kami semua sudah siap dalam posisi tidur.

Tapi Dina agak lemot juga. Dari awal keberangkatan, kami sudah berencana akan ngecamp di pos 3 untuk malam pertama.
“Mending pas engke di pos 3, urang ngecamp heula,” Dina sok memberi ide.
“Kan emang kitu rencanana kak,” kata Zahra.
Lalu Rosan berpura-pura lemot juga untuk menyindir Dina, “Ceuk urang mah mending di pos 3 we ngecamp na,”
“Ih ulah. Mending di pos 3 we,” Teh Dewi ikut-ikutan.
“Kumaha mun di pos 3 wae?” Tanya Vika ikut bodoh.
“Ah, udah di pos 3 aja lah,” Rosan lebih bodoh lagi.
“Tos atos. Urang Tanya pendapat A Giri. Ceuk A Giri mending kumaha?” Qinoy sok menengahi.
A Giri menjawab singkat, “karoslet kabeh,”
Lalu kami pun tertawa.

Perjalanan kali ini benar-benar membuat kami semua korslet. Bahkan Mang Adin pun ikut-ikutan.

Ketika istirahat di sebuah tempat, Dina menceritakan bahwa dulu gigi Teh Dewi ditempeli berlian. Entah benar atau tidak, karena Dina memang suka mengarang cerita semacam itu. Ketika berkenalan dengan pendaki lain, Dina mengatakan bahwa Teh Dewi punya pabrik roti dan tahu, padahal itu hanya karangannya saja. Tapi gossip tentang Teh Dewi pernah menggunakan gigi berlian membuat Zahra penasaran.

“Bener gitu Teh?” tanyanya.
“Bener,” jawab Teh Dewi.
Mang Adin tiba-tiba menjawab, “Ayeuna mah batu berlian na tos digentos ku batu akik,”
Kami semua tertawa, lalu menggoda Mang Adin. “Cieee Mang Adin ngelucu Cieee,”.

Bahkan Giri yang biasanya tidak banyak bicara pun kali ini bisa melucu. Malam sebelum kami tidur, Giri memanggil Vika sang istri.
“Teh?”
“Iya a?” jawab Vika.
“Jangan lupa pake buff,” Buff adalah kain semacam syal untuk menutupi wajah.
“Kenapa?” Tanya Vika.
Kami kira Giri akan menjawab, takut ada hewan kecil yang masuk ke hidung. Tapi ternyata,
“Ngorok teteh gede,”
Serentak kami tertawa terbahak-bahak, karena Giri jarang sekali berbicara selama perjalanan. Lagi, kami menggodai, “Cieee a Giri ngelucu cieee,”

Berkebalikan dengan Dina, Vika istri Giri sangat manja dan tergantung pada suami. Lebih dari seratus kali kami mendengar Vika mengeluh,
“Aa.. tolongin..”
“Aa atuh aa.. teteh Teh cape,”
“Aa.. teteh Teh gemuk jadi wajar atuh lambat,”
“Aa.. anterin pipis,”
“Aa.. a amah nggak ngerti ya sama teteh,”

Padahal anak sulungnya yang ikut pun tidak mengeluh seperti itu. Saking seringnya memanggil, “Aa..” kami sering menggodain. Terutama Rosan, Acong, dan Qinoy. Mereka sering menyindir, “Aa.. ombeh-in aku dong aa. Cebok-in aku aa,”. Vika hanya tertawa saja disindir seperti itu.

Walk4free pada dasarnya bertujuan untuk membebaskan diri dari hal-hal negative. Karena itu sebisa mungkin perjalanan ini diisi oleh obrolan-obrolan yang positif. Saat itu kami sedang membahas pentingnya kata ‘punteun’ atau ‘maaf’ ketika minta tolong pada seseorang. Dina langsung memanfaatkan momen ini.
“Osan, punteun lah geura beresan tenda,” katanya pada Rosan.
“De, punteun lah pangbereskeun tenda,” Rosan malah menyuruh Zahra.
“A Qinoy, punteun lah ceuk a Osan pangbereskeun tenda,” Zahra menyuruh Qinoy.
“Cong, itu punteun ceuk si Ade pangbereskeun tenda,” Qinoy meminta pada Acong.
“Din, sori pisan pangbereskeun tenda,”
Kami langsung tertawa. Kapan ada ujungnya

Banyak gossip percintaan yang terjadi selama perjalanan. Tentu saja bukan benar-benar kenyataan. Awalnya Teh Dewi digosipkan dengan Acong si brondong. Lalu Acong digosipkan dengan Zakia (yang merupakan anak sulung Vika dan Giri), Zahra, dan Dina. Dina yang mengungkapkan pada Acong bahwa Acong telah mengalihkan dunianya (tentu saja ini tidak betulan). Kaka digosipkan dengan Rosan, Acong, Qinoy, dan Mang Adin. Tapi yang paling hangat adalah gossip cinta segitiga antara Rosan, Qinoy, dan Acong. Diduga, alasan 3 pria lajang ini belum menikah adalah karena ada rasa terpendam antara ketiganya. Di gunung, orientasi seksual menjadi remang. Rosan mendadak gemulai, “aduuh, celana ekeu melorot booo,”. Qinoy mendadak ingin menggunakan lipstick Zahra supaya terlihat cantik di depan Acong dan katanya supaya lebih enak bermanja-manja dengan Acong. Giri menolong Qinoy dengan memegang tangannya saja langsung disoraki, “Cieee pegangan tangan cieee,”

Entahlah, dengan siapa akhirnya mereka berjodoh.

Ketika sharing feeling, Acong mengungkapkan bahwa naik gunung bersama tim walk4free Grapiks benar-benar fun dan penuh canda tawa. Vika mengaku tak sabar dengan perjalanan walk4free selanjutnya. Rosan juga mengungkapkan bahwa walk4free ini bisa mempererat hubungan emosional. Ia dan Acong yang ketika SMA tidak terlalu dekat, justru dekat ketika naik gunung. Rosan juga ingin menghilangkan hal-hal negative dari dirinya. Dan hal-hal tersebut menurutnya bisa dilatih dengan naik gunung. Sense of help, humor, discuss, semuanya terlatih dengan sendirinya. Menurut Giri, naik gunung membuatnya memahami karakter banyak orang, termasuk karakter istrinya. Para pria dituntut untuk kuat karena hampir kelima pria itu membawa carrier dengan beban yang super berat, bahkan ketika perjalanan pulang, bawaannya tak kunjung habis.

Tapi perjalanan ini tak sepenuhnya menyenanglkan. Beberapa jam terakhir di perjalanan pulang, kami diguyur hujan. Emosi kami teruji, dengan 15 jam perjalanan pulang yang hanya beberapa kali istirahat. Ditambah jalur pulang yang lebih panjang dari jalur naik. Kami baru sampai di pemukiman warga pukul 1 malam, dan sampai di basecamp grapiks pukul 7 pagi. Zakia sempat mengalami drop, padahal selama di puncak ia sangat ceria dan selalu tertawa. Tapi kondisi hujan dan kelelahan, ditambah pacet yang ada di kakinya, membuat Zakia sedikit shock di perjalanan pertamanya naik gunung ini.

Rosan dan Qinoy mengalami sakit kaki yang lebih parah dari biasanya. Acong juga sempat beberapa kali terjatuh. Rosan mengejek, “Labuh maneh?”. Acong dengan gengsi menjawab, “Teu, urang mah teu labuh da,”.

Salut untuk Mang Adin, Teh Dewi, dan Zakia. Tiga orang yang sering kami khawatirkan tidak bisa sampai ke puncak, tapi ternyata semuanya bisa sampai dengan selamat. Rosan bilang, ada yang harus diselesaikan dalam setiap perjalanan. Ya, semua hambatan-hambatan dan kesulitan itulah yang harus diselesaikan. Tapi semuanya terbayar ketika kami sampai di puncak. Ciremai bagai negeri di atas awan. Dengan segala kecantikannya.

Kami ingin terus ber-walk4free. Berolahraga jalan-kaki. Seperti kata Vika,
“Daripada beli morphin untuk mengeluarkan endorphin, mending olahraga deh,”

Hehe. Setuju. Mari terus ber-walk4free kawan.

Rabu, 11 Februari 2015

Suka Duka Membuat Skripsi

Orang bilang, ujian membuat skripsi nggak ada apa-apanya dibandingkan ujian kehidupan. Ngeri yah. Skripsi aja udah segini memilukannya.

Tapi kemarin lusa A Osan cerita, dia lulus 7 tahun dan mahasiswa terakhir yang lulus diantara semua temen seangkatannya di Unikom. Dia ngehibur Z dengan bilang SPP di UIN itu murah, nggak kayak dia dulu. Dan seenggaknya Z nggak sendirian, masih ada satu dua orang menemani. Lumayan sih Z jadi sedikit semangat, meskipun suka sedih kalau inget semua temen cewek di kelas udah lulus.

Hiburan lainnya datang dari Ansanu. Dia yang penelitiannya gagal total dari sejak persemaian aja enjoy banget. Dan dia nyuruh Z nggak lihat orang-orang yang udah lulus, soalnya kita malah jadi nggak bersyukur. Harusnya liat orang-orang yang lebih tua dari kita dan belum juga lulus.

Hihi. Bener nggak ya harus gitu

Rabu, 04 Februari 2015

Perjalanan Menuju Sarjana Pertanian

Di hari dimana Z jadi satu-satunya peserta sidang kolokium yang nggak lulus, Z memutuskan pindah kamar dari rumah ke kamar di saung. Tadinya untuk menenangkan hati dan mengasingkan diri dari hiruk pikuk dan keramaian. Eh taunya malah makin pusing karena kamar yang bekas gudang itu sudah jadi habitat beberapa hewan kebun seperti : lege, tokek, semut hitam besar yang kalau menggigit menimbulkan benjolan, cicak, nyamuk, tikus yang suka nyuri makanan dan ngegigitin semua barang dan bisa ngangkut sekeresek beras, siraru, kecoa, bahkan sesekali kelelawar, plus suara anjing yang mengaum seperti srigala setiap malam.

Kumaha bisa menenangkan diri coba.

Disana setiap malam Z donlot video-video lucu Cak Lontong di acara Indonesia Lawak Klub. Lumayan bikin ngakak dan untuk sementara masalah skripsi terlupakan. Setiap kali Z ngakak-ngakak di dalam kamar, si Abi langsung marah-marah dari luar. “Eta teh keur nanaonan sih dijero? Lainna mereskeun skripsi kalakah seuseurian sorangan!!!” (Itu lagi ngapain sih di dalam? Bukannya beresin skripsi malah ketawa-ketawa sendiri!!!)

Besoknya Z tau dari Mamah kalau Abi bilang gini ke Mamah, “Mah, si ade teh kudu dipariksakeun. Bisi stress ku skripsi. Sok seuseurian sorangan di saung,” (Mah, si ade harus diperiksa. Takutnya stress gara-gara skripsi. Suka ketawa-ketawa sendiri di saung). Hihi. Aya-aya wae.

Selama dua bulan Z lupa skripsi, suatu hari Mamah bilang gini, “Ade, Mamah mah sedih ninggali si Abi meuni menggebu hayang ade lulus. Komo si Abi mah ni semangat ngabantuan penelitian. Sok tong ninggali Mamah, tong ninggali dosen, tong ninggali sasaha. Tinggali we si Abi. Geus lulus mah berekeun we ijazah na ka si Abi da si Abi nu hayang ade lulus,” (Ade, Mamah sedih liat Abi menggebu ingin ade lulus. Apalagi si Abi semangat banget bantuin penelitian. Udah lah sekarang mah jangan liat Mamah, jangan liat dosen, jangan liat siapa-siapa. Liat Abi aja. Udah lulus mah kasih aja ijazahnya ke Abi karena dia yang paling ingin ade lulus.)

Akhirnya mulailah dari situ Z bimbingan lagi dibantu temen sekelas Z si Adul dan Eka plus diarahkan sama pembimbing dan penguji.

Lalu sampailah di bulan Januari dimana itu adalah bulan kesempatan terakhir sidang kolokium bagi yang mau lulus semester ini. Alangkah soaknya aku ketika Pak pembimbing nyuruh Z penelitian ulang karena sampel yang diambil cuman 4 biji dari 300 tanaman. Harusnya untuk sampel itu minimal 10%. Z minta solusi lain selain ngulang penelitian karena kesempatan sidang terakhir cuman sebulan lagi. Tapi solusinya cuman ada dua, ngulang penelitian atau ganti pembimbing. Akhirnya mau nggak mau Z milih opsi pertama.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Z nangis sesenggukan. Gimana bilang ke Mamah dan Abi, kalo Z nggak jadi lulus semester ini. Belum lagi nyesek banget ditinggal lulus semua temen-temen cewek di kelas. Nyampe saung, Z nelepon Surya yang lagi KKM di Garut. Tanpa basa basi, pas telepon diangkat Z langsung nangis meraung-raung, “SURYAAAA… HUAAAAAAAA… HUAAAAAAAAA… HUAAAAAAA…”

“Halo halo? Teh? Maaf Surya nya lagi di kamar mandi. Ini temennya,”

Aduh gondok. Lagi dramatis-dramatisnya gini malah dirusak suasananya. Hihi. *Bahkan disaat-saat tersedih dalam hidup kita sekalipun, selalu aja ada hal yang membuat kita tertawa*

Pas besoknya kaka Dina cerita, dia ditanya tukang konter di pangkalan ojeg bawah, “Teh kemarin adiknya turun dari angkot sambil nangis ya, kenapa?”. Z bener-bener nggak sadar kalau di pangkalan ojeg waktu itu ada banyak orang.

Z cerita ke Mamah dan Abi tentang kabar sedih ini. Lalu Mamah bilang “Keun teu nanaon. Sok dijalani. Pasti aya hikmahna. Engke pas lulus karasa puas na. Ulah leutik hate. Di tempat lain mah loba nu ujianna leuwih gede ti ade tapi bisa ngajalani,”

Disitu Z mulai tenang. Apalagi si Abi juga malah seuseurian, “Da maneh mah salah atuh. Maenya nyokot sampel tinu 300 siki ngan 4 sampel. Sampel mah minimal 10%, semakin banyak semakin bagus. Yeuh kieu kieu ge Abi nyaho masalah kitu mah,”. Hadeuh, mulai deh pamer. “Bae, pengalaman adalah guru yang utama,” katanya lagi. Alhamdulillah, punya orang tua yang selalu menguatkan.

Mungkin ini adalah sepersekian jawaban dari doa yang suka Z panjatkan selama ini.
“Ya Allah, aku bukan pembuat skripsi yang baik. Tapi jadikanlah aku seorang petani yang baik,”

Amin. Semoga kegagalan-kegagalan ini jadi salah satu jalan terbentuknya Sang Petani Farm yang lebih baik lagi.

Keserempet Motor

Beberapa hari yang lalu Z keserempet seorang pengendara ninja ngebut yang nyelip diantara motor Z dan sebuah motor lain yang nggak dikenal. Pas jatuh, Z manggil-manggil si pengendara ninja warna ijo putih itu. Dia cuman nengok ke belakang sekilas, abis itu tanpa rasa kasihan sedikit pun dia langsung kabur. Ya ampun, rasanya bagaikan seorang wanita yang jatuh cinta tapi cintanya bertepuk sebelah tangan. Gondok.

Z kan ngebonceng kaka Dina. Z langsung ngeliat kondisinya. Cuman telapak tangannya yang lecet, mungkin karena dia banyak amal baiknya, hihi. Tapi dia nangisnya kenceng banget karena ternyata darah yang bercucuran di aspal itu berasal dari luka di kening Z. Z yang asalnya nggak kenapa-napa mendadak shock dan menjatuhkan diri ke pelukan seorang satpam yang berdiri di samping Z. Ooh soswitnyaaa.

Setelah dilarikan ke RS Uber dan cuman dibersihin luka-luka di badan, mereka nyuruh kita ke RSHS karena nggak sanggup ngejait luka yang konon dalamnya sampai ke tulang. Pas lagi nunggu surat rujukan ke RSHS, ada ibu-ibu cerita sodaranya kemarin ketabrak truk fuso sampe paru-parunya ancur, tapi masih bisa ditangani di RS AMC. Daripada jauh-jauh ke RSHS, akhirnya kita memutuskan ke RS AMC yang lebih deket. Di AMC, alhamdulillah dokter bilang luka itu masih bisa dijait biasa, nggak nyampe ke tulang.

Pas dapat kabar Z masuk UGD, si abi marah-marah di telepon, "Da daharna cengek wae budak teh!!" (Makan cengek terus anak ini mah). Dia nyangkanya magh Z kambuh. Hihi. Angger sok sotoy.

Z sedikit merenung setelah kejadian ini. Begitu mudahnya fisik kita berubah. Muka yang asalnya cuman ada alis, mata, idung dan mulut sekarang ditambah dengan sebuah garis jaitan di kening. Rencana-rencana yang sudah kita buat pun ikut berubah. Niat bulan januari mau ke acara peacetival, ke nikahan Sheila temen KKM, ke nikahan Irvan temen SD, bimbingan ckripci, dll, juga harus diubah.

Selama bulan desember Z dapat banyak kabar gembira. Mungkin dengan kejadian ini Allah ingin mengingatkan supaya kita tidak boleh terlalu gembira ketika mendapat kesenangan. Dan tidak terlalu sedih ketika ditimpa kesedihan. Karena sedih dan senang semuanya sudah dituliskan pada waktu yang ditentukan. Allah juga kasih sakit, supaya kita mengharap kehidupan lain yang kita tidak akan pernah merasakan sakit, sedih, gelisah, galau di dalamnya. Yaitu Surya. Eh, Surga maksud teh.

Akhirul kalam, saya mohon maaf kalau saya ada kesalahan. Keluarga, teman, kekasih, partner, senior, guru, dan semuuua orang yang pernah secara langsung atau tidak langsung tersakiti oleh saya. Banyak orang yang ingin saya minta maaf-i, tapi terhalang oleh rasa takut nggak diberi maaf. Heu.

Maapin aku yang imut ini yaaa kawan...

Liputan Muhammad Fauzan di Acara 360 di Metro TV

Waktu itu ada liputan A Uzan di acara 360 di Metro TV. Z sedih waktu liat Abi nonton sambil cirambayan (meneteskan air mata). Mungkin dia ngerasa usahanya membuat a Uzan berhenti dari narkoba selama ini nggak sia-sia. Selama 9 tahun A Uzan jadi pecandu narkoba jenis putaw yang merupakan jenis narkoba berat karena penggunaannya disuntikkan langsung ke pembuluh darah, bukan diminum. Cibiran orang karena anak seorang guru mengaji ternyata seorang pecandu kelas berat mungkin adalah resiko yang harus kita terima. Mamah dan Abi juga sebetulnya nggak diam. Nasehat mah udah nggak keitung. Doa mengalir setiap detik, memohon supaya anaknya bisa lepas dari narkoba. Abi cari dokter sana sini, cari tempat rehab sana sini, yang bisa bantu a Uzan berhenti. Tapi usaha-usaha itu belum juga membuahkan hasil. Sampai akhirnya A Uzan direhabilitasi di Rumah Cemara, tempat rehabilitasi yang kebetulan pengasuh-pengasuhnya adalah mantan-mantan pecandu yang dulunya rekan-rekan Abi, dan merupakan kumpulan orang yang berdedikasi tinggi untuk pemulihan para pecandu.

Hari ini, saat A Uzan lepas dari narkoba, lalu kembali menggeluti bidang yang pernah digelutinya ketika SMP, bertanding sebagai pemain profesional, Abi dan Mamah cengo di depan TV ngeliat anaknya yang dulu jadi ujian terberat bagi mereka, sekarang jadi anak yang membuat mereka bangga.

Pesan moral : Ibu-ibu, bapak-bapak, semua yang ada disini, kalau sedang diuji dg anak yang bandel, yang susah diatur, yang nyebelin, sing sabar nyak. Akan ada saatnya dia berubah.
Subhanallah aku bijak banget sihhh ;;)