Furniture Pallet di Kota Bandung

Furniture Pallet di Kota Bandung
Zahra Shafiyah, Owner Sang Petani Pallet Furniture

Minggu, 26 April 2015

Pengalaman Mendaki ke Puncak Rakutak


Ada cerita yang sedikit mistis dari perjalanan Walk 4 Free ke Puncak Rakutak kali ini.

Sebelumnya harap diketahui, perjalanan yang seharusnya tidak memakan waktu terlalu lama ini terasa lebih panjang karena melibatkan berbagai kalangan. Ibu-ibu, bapak-bapak, lajang, gadis, hingga LSL (lelaki suka lelaki), sehingga kami sering berhenti untuk sekedar istirahat, merumpi, popotoan, atau menggoda pendaki lain.

Kami menemukan satu-satunya warung yang ada di ketinggian lebih dari 700 mdpl. Pemilik warung tersebut adalah pria sederhana dengan sandal jepit hampir putus. Dari hasil wawancara yang dilakukan Dina, diketahui bahwa meskipun penampilannya sederhana, omset dagangannya bisa mencapai 500ribu/hari. 

Warung tersebut buka 24 jam, menjual bala-bala, teh manis, dan kopi. Dan ia pulang ke rumah hanya 1x dalam seminggu. Penjual tersebut memberi tahu, di atas sudah tidak ada lahan untuk memasang tenda karena pada hari itu ada 100 lebih pendaki lain dari luar Bandung yang sedang mendaki. Akhirnya kami memutuskan memasang tenda di dekat tukang warung tersebut dan akan ke puncak keesokan harinya.

Ba’da maghrib, Kami berkumpul di warung sambil menghangatkan diri di sekitar perapian. Ditengah tawa kami, tiba-tiba muncul Kinoy membawa Teh Dian dalam kondisi menggigil dan wajahnya pucat pasi. Ia beristighfar terus menerus. Untuk sepersekian detik, kami malah tertegun. Sebelum maghrib tadi, Teh Dian izin pergi ke tenda karena merasa kelelahan. Ini adalah kali pertama ia naik ke gunung dengan trek seperti ini. 

Melihat Teh Dian ketakutan, kami segera merangkul dan mengelilinginya. Kami mengusapnya dan menanyakan pada Kinoy apa yang terjadi. Sebelum Kinoy menjawab, Teh Dian tiba-tiba berteriak pada Vika, “TEH VIKAAA!!! Itu di belakang!!!”. Vika kaget, lalu memeluk Zahra. Vika malah memakai kacamata hitam, entah untuk apa. Kami lalu menyuruh Teh Dian berbaring diatas tikar. Kami mengusapnya, lalu menyuruhnya membaca istighfar. Dengan kalimat terbata-bata, Teh Dian bercerita, ketika ia sedang meringkuk di dalam tenda, ia mendengar banyak orang masuk ke dalam tenda. Ia kira orang-orang itu adalah kami. Semakin lama, semakin banyak. Dan tiba-tiba ada suara berbisik, ingin memeluk Teh Dian.

Beberapa menit setelah menceritakan hal itu, Teh Dian berhenti membaca istighfar, lalu bola matanya terus melirik kearah kiri, ke hutan yang gelap dan tidak ada cahaya sedikitpun. Kami menghalangi pandangannya supaya ia tidak melihat kesana, tapi Teh Dian tidak mau. Zahra menutupi wajah Teh Dian dengan tubuhnya. Tapi Teh Dian tetap memandang ke hutan itu.

Muncul Giri dan Mas Doel yang baru tiba dari puncak. Mereka baru saja memeriksa kalau-kalau ada lahan kosong di atas untuk memasang tenda. Setelah tidak ada hasil, mereka kembali dan menemukan Teh Dian dalam kondisi demikian. Giri menyuruh kami memijit jempol kaki Teh Dian dengan kencang. Setelah kami pijit, Teh Dian tiba-tiba berteriak kencang “Aaaaaaaaaaa!!!”. Ia bangun dan terlihat linglung.
“Kenapa pada mijitin Dian?” tanyanya heran.

Kami baru menyadari bahwa yang terjadi tadi, adalah diluar kesadaran Teh Dian. Acong mengatakan, Teh Dian terlalu kecapean sehingga kondisi pikirannya ikut melemah, dan menjadi kosong. Setelah kejadian ini, Acong meminta kami lebih awas satu sama lain. Jangan memisahkan diri, dan hindari kekosongan pikiran. (Cerita ini telah mendapat izin publikasi dari Teh Dian)

Keesokan harinya kami mulai mendaki dan keadaan kembali mencair seperti biasa. 11 orang pendekar kali ini adalah :

Mas Doel yang tidak pernah pundungan meski dibully, dan Mas Doel orangnya sangat bersemangat. Bahkan dalam keadaan kram pun Mas Doel masih semangat selfie.
“Mas, engke deui popotoanna ai keur kram Mah atuh Mas,” kata Rosan.
Mas Doel juga sering memiliki ide buruk, “sigana ngagulutuk ka handap rame da,”. Kami langsung menyoraki Mas Doel dan menyuruhnya ngagulutuk sendirian.
Dina yang dijuluki alkaline karena sepanjang perjalanan tidak pernah semenit pun berhenti bicara seakan batrenya tidak pernah habis. Dina sering tiba-tiba berteriak “SIAPPP GRAK!!!” dengan kencang sehingga membuat kami reuwas.

Bu Dian dan Kinoy yang seperti Tom and Jerry. Mereka sering pa-pundung-pundung, marahan, tapi anehnya, tetap saja kemana-mana selalu bersama. Jika ingin mencari Teh Dian, carilah Kinoy. Maka pasti ada Teh Dian disana. Ketika Teh Dian jatuh ke kebun tomat, Kinoy siaga mendampinginya agar Teh Dian tidak jatuh lagi.

Giri yang naik ke puncak dua kali bersama Mas Doel ketika mengecek lahan kosong untuk pasang tenda, dan kembali tiga jam kemudian hanya untuk memberitahu di atas tidak ada lahan kosong. Giri tidak suka jika disuruh mengambil foto dengan sengaja, tetapi ketika orang lain tidak meminta, Giri akan mengambil foto dengan sendirinya.

Vika yang memasakkan cream soup untuk kami ketika di puncak. Quote favorit Vika : “Jangan lihat merk kopinya, tapi lihatlah dimana tempat meminumnya,”. Vika juga menyerahkan sebagian bebannya kepada Giri ketika merasa kelelahan di tengah perjalanan.

Bu Nenden yang bertemu dengan teman gowes nya yang sudah lama tidak bertemu di atas gunung. Kami menonton sebuah drama mengharukan dimana Bu Nenden dan temannya temu kangen dan berpelukan di tengah hutan. Pada pendakian pertamanya ini, Bu Nenden mengaku kapok.

Acong yang sudah pernah naik ke Rakutak itu adalah lelaki lajang yang sangat hebat karena bisa mendaki sambil tertidur (matanya sipit-red.). Acong juga berkali-kali terpeleset di perjalanan pulang. Kami lalu menyuruhnya segera menikah. Sama halnya seperti pada Acong, Rosan juga sering kami suruh cepat menikah.

Rosan dan Acong yang merupakan teman satu SMA itu selalu saling mengejek, padahal mereka sama-sama belum menikah. Selain karena belum menikah, mereka juga saling mengejek ciri khas fisik masing-masing. Rosan mengejek Acong “beunta atuh beunta!”, dan Acong mengejek Rosan “naon maneh hideung”. Tapi tidak ada rasa sakit hati diantara keduanya. (Btw, Rosan adalah mantan pengguna narkoba Ganja, yang mengalihkan ketergantungannya pada olahraga naik gunung)

Aum, adalah seorang LSL yang sangat terbuka. Kami mewawancarainya, apakah ia berminat berganti haluan menyukai wanita. Tapi Aum membela diri dengan mengatakan, “Suka sama laki-laki itu nggak dosa, yang dosa itu seksnya. Cowo suka sama cewek juga kan nggak dosa, yang dosa itu berbuat seksnya,”. Hihi. Pendakian ini adalah pendakian Aum yang pertama. Dan ia mengaku tidak kapok. Bahkan di pendakian selanjutnya, ia sudah mendaftarkan diri, berikut beberapa orang temannya yang juga ingin ikut mendaki.
Sampai saat ini kami tidak tahu kenapa orang ketagihan mendaki gunung, padahal yang dilihat sepanjang perjalanan hanya itu-itu saja. Pohon, ranting, tanah, pacet, atau paling sial, kotoran manusia. Tapi mungkin karena kesulitan yang dilalui, dan kepuasan yang dirasakan, kami jadi ingin dan ingin lagi mendaki. Dan setiap gunung punya ciri khas nya sendiri.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar